Pekerja memasang APK resmi kampanye Pilgub Bali 2018. (BP/dok)

DENPASAR, BALIPOST.com – Pelaksanaan kampamye Pemilihan Gubernur (Pilgub) Bali 2018 akan segera berakhir. Kondisi dan suasana relatif aman dan terkendali. Namun demikian masa kampanye pilgub yg melibatkan dua pasangan calon ini dinilai penuh “kecurangan” dan intimidasi halus.

Demikian disampaikan Pemgamat Politik yg merupakan dosen FISIP Universitas Udayana I Made Anom Wiranata, SIP, MA, Minggu (17/6). “Potensi atau realitas “kecurangan” justru sangat tinggi terjadi pada masa-masa sebelum pencoblosan,” Kata Anom.

Kecurangan dalam hal ini, lanjut Anom, dalam tanda kutip. “Mengapa “kecurangan” diberi tanda kutip? Oleh karena kecurangan adalah terminologi hukum. Sedangkan, ada bentuk kegiatan yang secara substansi merupakan kegiatan yang tidak adil atau curang, namun penegakan hukum sulit untuk menyentuhnya,” ujar Anom.

Baca juga:  Kembali, Umat Hindu Diminta "Nyejer" Pejati

Kegiatan-kegiatan yang masuk dalam cakupan tidak adil (curang), tapi sulit disentuh hukum ditunjukkan dengam fenomena desa atau banjar adat yang diplot untuk secara kompak memberikan suara pada paslon tertentu dengan imbalan berupa bansos, hibah, perbaikan fasilitas desa/banjar, dan imbalan material lainnya. Untuk menyukseskan transaksi tersebut, pengurus desa/banjar akan dengan berbagai cara akan mendorong warganya untuk mencoblos paslon yang terkait. “Disinilah potensi terjadinya intimidasi,” tegas Anom

Ketidakadilan juga ditunjukkan dengan desa atau banjar yang membuka diri terhadap kampanye dari salah satu paslon di wantilan desa/banjar setempat, namun tidak mengijinkan paslon lain untuk berkampanye di tempat yang sama. “Ini tidak adil dan tidak memberikan kesempatan ada kontestasi gagasan dari masing-masing paslon. Sudah dalam kategori menggiring warganya untuk memilih paslon tertentu,” jelas dosen yang juga aktif menulis ini.

Baca juga:  Perlu 28 Jam, Jenazah Pendaki di Gunung Agung Akhirnya Berhasil Dievakuasi ke Bawah

Anom mengingatkan bahwa bansos atau hibah menjelang pilkada, akan membuat pemilih di desa atau banjar yang memiliki pandangan politik yang berbeda, akan merasa terintimidasi. Apalagi bisa dikuti dengan pengambilan sumpah di pura untuk memilih paslon tertentu.

Bentuk intimidasi halus, datang dari Kepala Dusun atau Kepala Lingkungan (bagian dari desa dinas) yang turut hadir dalam pertemuan antara paslon atau tim kampanye paslon dan merekomendasikan untuk memilih paslon tertentu. Ini juga secara tidak langsung dapat menjadi intimidasi halus pada pemilih karena untuk urusan dokumen kependudukan semua harus berangkat dari Kepala Lingkungan atau Kepala desa.

Baca juga:  Sejak 1 Minggu Terakhir, Seratusan Babi Mati Mendadak di Desa Bila

Selain itu, kata Anom, intimidasi tidak hanya menimpa warga namun juga bisa menimpa Bendesa Adat. Pada masa sekarang, posisi Bendesa Adat sangat penting dan seksi dalam kontesasi politik. Itu membuat posisi ini juga menarik bagi orang yang memiliki kekuasaan politik. “Bendesa Adat yang dianggap tidak memilih arah politik yang sama dengan penguasa, dapat tidak terpilih kembali karena faktor politik di luar desa adatnya,” tegas Anom. (Nyoman Winata/balipost)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *