DENPASAR, BALIPOST.com – Ni Putu Wulandari menjadi buah bibir setelah dikabarkan meninggal karena bunuh diri. Siswi SMA ini mengambil jalan pintas karena tak kuat menanggung malu dan sakit hati. Terutama setelah tahu dirinya hamil karena seks pranikah saat menjalin cinta dengan I Made Yuda. Orangtuanya tidak bisa menerima kehamilannya dan malah mencacimaki Ni Putu Wulandari. Kini, yang tersisa hanyalah penyesalan.
“Dadi dokter buung, nganten tusing, mati payu. Mekejang kado,” begitulah gambaran penyesalan dan kegagalan yang menimpa keluarga Ni Putu Wulandari.
Dampak negatif seks pranikah ini dikisahkan oleh Sanggar Seni Sekar Hati, Br. Kutuh, Desa Sayan, Ubud, Gianyar, saat mengikuti lomba Tembang Girang pada Pesta Kesenian Bali (PKB) Ke-40 di Kalangan Ratna Kanda, Art Center, Denpasar, Selasa (26/6).
Pembina Sanggar, Ni Wayan Suratni mengatakan, Tembang Girang yang dipentaskan mengangkat judul “Semara Geni” atau api asmara. Jika tidak bisa mengendalikannya, maka akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan seperti seks pranikah di kalangan siswa sekolah. Selain tidak dibenarkan dalam ajaran agama Hindu, seks pranikah juga dapat mengubur mimpi siswa itu sendiri dan orangtuanya.
“Jadi kita memberikan pelurusan kepada anak-anak muda yang sedang berpacaran atau mencari teman agar waspada, baik itu melaksana, masuwitran, ngae ne rahayu,” ujarnya.
Suratni menambahkan, pentas untuk PKB ini dipersiapkan sejak dua bulan lalu. Diawali dengan casting panembang dan memilih elemen gamelan. Kebetulan di Br. Kutuh ada gamelan semarandana, sehingga itulah yang kemudian dipadukan dengan geguntangan. Tembang girang sendiri hampir sama dengan taman penasar. Hanya kriteria pesertanya saja yang kini dibatasi antara umur 17 hingga 25 tahun. Pada taman penasar, kriterianya tidak terbatas sehingga lebih mudah mencari peserta.
“Jadi (tembang girang) ini semacam regenerasi. Boleh dikatakan agak berat mencari penembang di umur sekian karena jarang anak-anak muda yang ingin belajar atau menekuni tembang,” paparnya.
Suratni mengaku tertantang untuk melatih 3 penembang yang kemarin pentas bersama 3 pengartos, 15 penabuh dan seorang moderator ini. Mereka betul-betul dilatih dari nol. Apalagi, tembang girang merupakan pengembangan dari pesantian yang dibumbui pula bahasa tubuh dan ekspresi, disamping mengikuti padalingsa dan guru dingdong. Namun, tidak lantas bisa disamakan dengan arja negak yang sedikit teatrikal.
“Megegirangan artinya dalam keadaan gembira, walaupun ada gending sedih,” tandasnya. (rindra/balipost)