Ilustrasi. (BP/dok)

JAKARTA, BALIPOST.com – Kajian The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research tentang kebijakan Pilkada 2018 dari aspek politik, ekonomi, maupun sosial, ternyata ada ketimpangan komposisi latar belakang calon kepala daerah. Pada Pilkada 2018 kali ini, kandidat yang berlatar belakang sebagai swasta atau pengusaha mendominasi.

Temuan itu disampaikan Peneliti Bidang Politik The Indonesian Institute (TII) Fadel Basrianto di Jakarta, Selasa (26/6). Calon kepala daerah yang berlatar belakang sebagai swasta atau pengusaha, sebanyak 44, 89 persen.

Berdasarkan data yang diberikan KPU RI, terdapat 573 bakal pasangan calon kepala daerah yang telah mendaftar ke KPU masing-masing daerah. Namun, empat diantaranya ditolak, sehingga hanya terdapat 569 calon kepala daerah hingga masa pendaftaran ditutup pada 10 Januari 2018.

Dari 569 bakal pasangan calon yang mendaftar itu, tercatat sekitar 128 orang maju lewat jalur perseorangan, dan 441 dengan dukungan partai politik. Fadel menambahkan, hasil kajian ini tidak berubah jika dibandingkan dengan Pilkada Serentak 2017.

Baca juga:  Pilkada Serentak di Bali, 1 Petugas Meninggal dan 5 Anggota KPPS Tertimpa Musibah

Pada pilkada yang dihelat 15 Februari 2017 lalu itu, sebanyak 50 persen dari total 310 calon kepala daerah berlatar belakang sebagai swasta atau pengusaha. Sisanya berlatar belakang sebagai petahana PNS, Anggota DPR/DPRD Provinsi maupun kabupaten/kota, Anggota DPRD, Pejabat BUMN/BUMD, Anggota TNI/Polri, dan perangkat serta kepala desa.

Sekalipun persentase kandidat yang berlatar belakang sebagai swasta atau pengusaha menurun, akan tetapi penurunan tersebut tidak memiliki arti yang signifikan. Hal ini dikarenakan calon kepala daerah yang berlatar belakang sebagai petahana mengalami peningkatan.

Pada Pilkada 2017, jumlah persentase petahana sebesar 16,61 persen. Pada Pilkada 2018, partisipasi petahana meningkat menjadi 19,49 persen. Dari data tersebut, Fadel Basrianto, Peneliti Bidang Politik TII, menyimpulkan bahwa demokrasi kita masih berbiaya tinggi.

Baca juga:  Polisi “Mapping” Kerawanan Jelang Pilkada

Selain itu kata Fadel,dalam Pilkada 2018 ada kecenderungan partai politik lebih memberikan rekomendasi kepada petahana dengan pertimbangan potensi kemenangan yang lebih tinggi karena tingkat popularitas dan elektabilitas petahana yang tinggi.

Partai politik, lanjutnya, juga tidak ingin mengambil risiko yang tinggi. Jika partai politik tidak mengajukan kandidat yang berpotensi menang, maka risiko mereka kehilangan suara untuk Pemilihan Legislatif dan Pemilihan Presiden 2019 akan membesar.

Oleh karena itu, opsi yang dipilih oleh partai politik hanya ada dua. Yakni, mendukung kandidat yang memiliki modal besar atau kandidat yang telah memiliki modal popularitas yang tinggi seperti yang dimiliki oleh petahana. “Implikasinya, aktor-aktor yang dapat mengakses menjadi calon kepala daerah menjadi lebih ekslusif. Orang yang dapat menjadi calon kepala daerah haruslah orang yang memiliki modal yang besar atau tingkat popularitas yang tinggi,” ujar Fadel.

Baca juga:  Dana Pilgub 2024 Disepakati Rp 41 Miliar Lebih

Salah satu contohnya ialah pencalonan kembali Ganjar Pranowo sebagai calon Gubernur Jawa Tengah. Ganjar dinilai memiliki popularitas yang meyakinkan untuk memenangkan kembali Pilgub Jawa Tengah. Menurut Survei SMRC pada 23-30 Mei lalu, Ganjar Pranowo Taj-Yasin memperoleh dukungan sebesar 70,1 persen responden.

Di tempat yang lain, penunjukan Cagub Sulawesi Selatan, Nurdin Halid dan Cawagub Sumatera Utara, Shihar Sitorus menunjukkan bahwa partai politik memberikan rekomendasi kepada kandidat yang memiliki tingkat kekayaan yang tinggi. Seperti diketahui bahwa harta kekayaan Nurdin Halid yang dilaporkan ke KPK sebesar Rp 167.869.362.322. Sedangkan, kekayaan Sihar Sitorus mencapai Rp 350.887.340.551. “Dengan demikian, demokrasi yang kita jalankan saat ini masih belum seideal demokrasi inklusif yang didambakan,” kata Fadel. (Hardianto/balipost)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *