DENPASAR, BALIPOST.com – Di usia yang sudah melebihi setengah abad, Pande Putu Munggah (70) masih setia menari gambuh. Munggah pertama kali belajar menari gambuh tahun 1970 sebagai penasar. Peran itu diwarisi sang ayah yang juga penari gambuh.
“Orangtua saya dulu mulai menari gambuh tahun 1918. Jadi sebelum merdeka ini sudah ada gambuh,” tuturnya disela-sela pentas di Kalangan Angsoka, Taman Budaya Denpasar, Kamis (28/6).
Munggah merupakan salah satu anggota tertua Sekaa Gambuh Kaga Wana Giri, Desa Kedisan, Tegallalang yang menjadi Duta Kabupaten Gianyar di ajang Pesta Kesenian Bali Ke-40. Sepanjang pengetahuannya, gambuh memiliki pakemnya sendiri dan tidak boleh sembarangan diubah. Munggah mempelajari gambuh secara otodidak sesuai apa yang diwariskan orangtua kepadanya.
“Kalau ayahnya jadi penasar, anaknya yang mewarisi harus jadi penasar. Walaupun awalnya tidak bisa atau tidak baik kelihatannya, harus menari. Jadi, berjalan secara alami,” jelasnya.
Sayangnya, lanjut Munggah, baik anak maupun cucunya sekarang tidak ada yang mau mempelajari tari gambuh. Upaya kaderisasi juga cukup sulit dilakukan pada generasi muda lainnya di Desa Kedisan. Selain sulit dipelajari, tari gambuh diakui kurang komersil dan tidak terlalu menarik untuk ditonton. Terlebih, tidak ada unsur bebondresan dalam pementasannya. Padahal, gambuh wajib ditarikan dalam setiap Panca Yadnya.
“Harus ada tari gambuh, kalau tidak begitu nanti upacaranya kurang sempurna. Itu satu keharusan di desa kami ada tari pujawali, topeng, gambuh, wayang bedog,” papar pria yang berprofesi sebagai petani ini.
Itu sebabnya, kata Munggah, penari gambuh mendapat keistimewaan di desanya. Misalnya, anggota Sekaha Gambuh diberikan “leluputan” atau tidak masuk dalam Sekaha Manyi. Namun tetap diberi upah padi seperti Sekaha Manyi lainnya. “Sebab Sekaha Gambuh dulu didirikan di Pura. Sampai sekarang masih berlaku demikian, makanya gambuh masih lestari sampai sekarang,” terang pria yang sudah dua kali terbang ke Paris, Perancis berkat gambuh ini.
Kelian Sekaha Gambuh Kaga Wana Giri, Gusti Ngurah Widiantara mengatakan, sekaha ini awalnya terbentuk tahun 1932 untuk melestarikan gambuh. Ada sistem pewarisan peran dari orangtua kepada anak, atau orang lain yang dianggap mampu. Gambuh di Desa Kedisan memiliki ciri khas dari segi penari yang seluruhnya laki-laki. Termasuk peran perempuan seperti condong juga dibawakan oleh laki-laki.
“Kami sering berhubungan dengan upacara, kalau ada halangan (cuntaka) kami tidak bisa pentas. Makanya memakai laki-laki,” katanya.
Widiantara berharap pemerintah bisa memberi perhatian lebih pada tari gambuh agar tidak hilang. Mengingat saat ini, cukup sulit mencari generasi-generasi baru penari gambuh. Namun demikian, pihaknya tidak lantas menyerah. Kehadiran Sekaha di ajang PKB untuk mementaskan lakon “Punagi Gunung Pengebel” adalah jawabannya.
Ada 30 penari dan penabuh yang dilibatkan dalam lakon yang bercerita tentang perjalanan Raja Gegelang untuk mengadakan upacara Punagi di gunung Pengebel. Upacara ini dilakukan sebagai rasa syukur atas kedamaian dan kesejahteraan di Kerajaan Gegelang. (rindra/balipost)