DENPASAR, BALIPOST.com – Ekonomi sedang lesu. Ekspor turun dan rupiah melemah.
Rupiah melemah sejak awal tahun 2018 dan menjadi 14.000/USD sejak Mei. Per tanggal 29 Juni rupiah telah berada di level 14.300/USD.
Berdasarkan data statistik, nilai ekspor Bali pada bulan April 2018 turun sebesar 16,79 persen. Karena dibandingkan capaian ekspor Bali pada Maret 2018 yang sebesar USD 59.043.288, pada bulan April turun menjadi USD 49.130.390.
Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Bali Adi Nugroho mengatakan, penurunan hampir terjadi ke setiap negara utama tujuan ekspor. Yang tertinggi penurunannya adalah ekspor ke Australia sebesar USD 2.738.038 atau lebih dari separuh dibandingkan bulan sebelumnya.
Wakil Ketua DPD Perbarindo Bali Cok Gede Mahadewa mengatakan, sejak tahun 2016 hingga sekarang, diakui terjadi penurunan penyaluran kredit khususnya bagi kredit skala besar. “Secara umum, kredit lagi stagnan, tidak mengalami pertumbuhan yang berarti. Tapi kita selalu berusaha memasarkan,” ungkapnya Kamis (28/6).
Penurunan penyaluran kredit terjadi pada kredit skala besar. Sebelum tahun 2016, penyaluran kredit secara keseluruhan per triwulan II bisa mencapai 25 persen dari target, sedangkan sekarang baru tercapai 10 persen. Itupun diakui sudah sangat maksimal dalam menyalurkan. “Kalau kredit UMKM masih berjalan. UMKM masih bisa bertahan di tengah situasi sulit ini,” imbuhnya.
Kondisi ekonomi yang lesu akibat pengaruh global juga membuat BPR selektif memberi kredit. Dari sisi penilaian ia lebih berhati-hati. “Kalau dulu kita berpikir jangka pendek, sekarang kita berpikir jangka panjang seperti apa bisnis itu berjalan,” ungkapnya.
Selain itu, kredit skala besar untuk invetasi juga menurun. Karena masyarakat dinilai berhati-hati dalam berinvetasi. “Dalam hal berbisnis orang kan tetap saja berbisnis, sedangkan untuk berinvestasi ini orang berpikir lebih panjang lagi karena memang terjadi penurunan daya beli,” ungkapnya.
Penghasilan atau pendapatan tetap namun harga barang dinilai naik sehingga masyarakat tidak mampu membeli.
Kepala OJK Regional Bali Nusra Hizbullah mengatakan, pertumbuhan kredit di Bali memang lebih rendah dari pertumbuhan DPK. Salah satu penyebabnya karena memang pertumbuhan ekonomi Indonesia tidak terlalu tinggi sekitar 5 persen.
Jika digolongkan penyaluran kredit skala kecil dan besar, penyaluran kredit skala kecil di bank umum nasional tidak terlalu menurun. Namun penyaluran kredit skala kecil di BPR menurun.
Sementara kredit skala besar pada umumnya diajukan dan dicairkan oleh bank umum di tingkat pusat (Jakarta). Seperti untuk pembangunan hotel di Bali.
Ekonomi lesu menyebabkan penyaluran kredit berkurang. Karena ekonomi lesu berarti industri kurang bergerak. Sehingga daya serap industri, masyarakat terhadap kredit itu kurang. Kondisi ini tidak hanya terjadi di Bali tapi juga di Indonesia.
Ia belum bisa memastikan, penyaluran kredit yang menurun karena pelemahan rupiah.Justru menurutnya Bali dengan daerah pariwisata menguntungkan dengan pelemahan rupiah ini terutama wisman.
Wisman yang datang tentu membawa dolar dan devisa bagi negara. Apalagi bulan Juli dan Agustus merupakan peak season. “Yang rugi itu pada industri yang punya hutang dalam dolar atau beli barang impor ke luar negeri. Tapi di Bali engg ada industri yang impor ke luar negeri. Pengusaha yang bahan bakunya lokal melakukan ekspor akan untung. Tapi secara umum Indonesia rugi kalau rupiah melemah karena banyak industri di daerah lain bahan bakunya banyak impor,” bebernya. (Citta Maya/balipost)