Pilgub Bali sudah selesai. Kini masyarakat Bali tinggal menunggu realisasi janji-janji pemenangnya. Selama tiga bulan kampanye, banyak program yang diutarakan. Sebagian besar menyangkut pembangunan infrastruktur dan ekonomi Bali. Tentu ini (diharapkan) menjadi perhatian mereka pascadilantik Agustus mendatang.
Seperti diketahui, dalam bidang ekonomi, Indonesia utamanya Bali menghadapi sejumlah masalah. Pertama, makin menurunnya nilai ekspor kerajinan Bali. Demikian pula naiknya suku bunga acuan Bank Indonesia, juga akan mempengaruhi daya saing UMKM yang selama ini menjadi handalan ekonomi Bali. Ketiga adalah terpuruk nilai rupiah yang telah menyentuh 14.400 per dolar AS. Ketiga hal tersebut akan mempengaruhi daya saing ekonomi Bali baik ditingkat nasional maupun internasional.
Harus diakui, pemerintah sudah mengambil langkah untuk menggerakkan ekonomi Masyarakat. Kebijakan BI menaikkan suku bunga bertujuan
untuk mencegah larinya modal keluar negeri. BI juga telah mengendorkan syarat kredit KPR. Bahkan bank diberikan keleluasaan untuk menurunkan uang muka. Bahkan mencapai nol persen. Tentu ini upaya pemerintah untuk menggeliatkan lagi bisnis properti yang dua tahun ini stagnan.
Pemerintah kembali diharapkan mengeluarkan jurus baru untuk mengurangi beban psikologi masyarakat, terutama dunia usaha. Kebijakan menjaga nilai rupiah juga penting dilakukan. Jangan sampai investasi di dalam negeri lari keluar. Demikian pula, stabilnya nilai rupiah akan mengundang investor masuk. Sebab pada dasarnya kita masih memerlukan investor.
Namun seleksi terhadap mereka tetap harus dilakukan. Rambu-rambu terhadap masuknya investor juga tetap diperketat. Jangan sampai merugikan investor lokal, lingkungan dan budaya. Terlebih di Bali. Banyak hal yang harus dipikirkan jangan sampai menimbulkan masalah baru, baik sisi ekonomi, kultural, ritual, enviromental dan sebagainya.
Bali bukan semata-mata untuk investor. Langkah lebih tepat bagaimana manusia Bali juga bisa berlaku sebagai investor. Tidak saja dalam konteks artian finansial tetapi juga bagaimana manusia Bali itu bisa menjadi sosok yang mampu menjaga keutuhan aset yang dimilikinya. Baik budaya, alam, ekonomi dan sebagainya. Kalau itu bisa dilakukan, maka itu juga sebuah investasi yang sangat besar.
Karenanya, janji politik untuk membangun desa yang diutarakan dalam kampanye Cagub, sangat tepat dicermati. Bahkan ketika mereka berkuasa, adalah kewajiban rakyat untuk mengingatkannya kembali. Jangan sampai janji kampanye tinggal janji tanpa bukti. Utamanya membangun desa dan masyarakatnya.
Kita tahu, setiap hajatan politik selalu menempatkan desa sebagai sentra pembangunan. Desa tetap menjadi sebuah pilihan bagi partai politik maupun politisi sebagai objek. Desa bukan semata-mata sebagai komoditas politik, tetapi bagaimana mengembangkannya sebagai sebuah komoditas ekonomi, sumber daya serta budaya dalam artian luas. Desa harus menjadi sentra kekuatan ekonomi dalam segala aspeknya.
Dengan komitmen calon pemimpin, maka desa diharapkan berkembang. Dengan demikian tentu segala potensi yang ada akan berkembang juga. Banyak desa memiliki keunikan tersendiri. Cuma masalahnya, bagaimana kemudian pemerintah mengalokasikan dana yang cukup untuk membangun infrastruktur, memperbaiki kualitas kesejahteraan masyarakatnya, kesehatan sekolah dan sebagainya.
Ketika desa sedemikian bertumbuh dan berkembang maka distribusi penyebaran penduduk serta kesempatan untuk berusaha juga dengan sendirinya melebar. Tidak numplek di kota saja. Potensi dikembangkan dengan berbasiskan kearifan lokal setempat. Budaya dikembangkan dengan memperhatikan semua aspek.
Perkembangan di desa, sejatinya bukan semata-mata faktor ekonomi, tetapi bagaimana memberikan komunikasi, jalur, hubungan dengan desa-desa lain atau kota-kota lain. Menjembatani potensi antara satu dengan lainnya memang perlu dilakukan, sehingga muncul saling ketergantungan antara satu dengan lainnya.