Aktivitas Gunung Agung yang terletak di Kabupaten Karangasem, Bali, sepertinya memang susah ditebak. Rabu, 27 Juni lalu, pukul 22.21 wita, gunung tertinggi di Bali tersebut kembali mengeluarkan asap dan abu vulkanik hingga Jumat 29 Juni dini hari. Kondisi ini sempat menimbulkan kepanikan warga sekitar hingga harus mengungsi.
Bahkan, Bandara Internasional I Gusti Ngurah Rai sempat ditutup tanggal 29 Juni 2018 mulai pukul 03.00 wita hingga pukul 14.30 wita. Sebelumnya, hal yang sama pernah terjadi saat status Gunung Agung dinyatakan pada level IV (Awas/level tertinggi dalam status gunung api), Senin 27 November 2017 lalu.
Peningkatan status Gunung Agung tidak hanya menjadi sebuah pertaruhan hidup dan mati warga di sekitar gunung yang disakralkan umat Hindu di Bali tersebut. Tetapi, juga pertaruhan bagi ekonomi Bali yang selama ini ditopang sektor pariwisata.
Meningkatnya aktivitas Gunung Toh Langkir yang berdampak pada penutupan sementara Bandara Internasional I Gusti Ngurah Rai, telah membuat banyak wisatawan meninggalkan Bali dan tidak sedikit yang membatalkan kunjungannya ke Bali. Syukur, masyarakat di sekitar Gunung Agung telah selalu siap siaga, waspada, dan sigap menghadapi bencana. Demikian halnya komponen pemerintah dan pihak terkait lainnya, selalu siap, siaga, dan sigap menyelamatkan pariwisata Bali.
Sikap siap siaga, waspada, dan selalu sigap ini juga ditunjukkan masyarakat Bali lainnya yang bersedia menampung para pengungsi. Tidak hanya memanfaatkan tempat-tempat atau fasilitas umum, masyarakat bahkan bersedia dengan ikhlas menyiapkan tempat tinggal mereka untuk menampung para pengungsi.
Hal ini telah pula menuai pujian, karena sikap empati mereka turut meminimalisasi jumlah korban yang terdampak erupsi Gunung Agung. Sikap empati masyarakat Bali juga turut untuk tidak membuat pariwisata, periuk nasi mereka terjerembab terlalu jauh. Tentu, hal ini berdasarkan pengalaman yang pernah menimpa masyarakat maupun pariwisata Bali.
Bekal pengalaman saja belumlah maksimal dalam mengantisipasi situasi kebencanaan. Agar apa yang telah dicapai sekarang lebih optimal lagi ke depannya, masyarakat utamanya generasi muda perlu dibekali pengetahuan yang cukup tentang kebencanaan.
Mengingat, pengetahuan tentang bencana (alam) yang didapat anak-anak selama ini masih sangat minim. Padahal, Indonesia temasuk Bali merupakan daerah yang sangat berpotensi dan rawan bencana alam. Tidak hanya bencana letusan gunung berapi, tetapi juga musibah banjir, longsor, puting beliung, kebakaran dan sejenisnya.
Untuk mengajarkan tentang kebencanaan ini, tidaklah cukup sebatas teori. Anak didik mesti diajarkan bagaimana menghadapi kondisi sebenarnya. Pengetahuan tentang kebencanaan ini bisa dimasukkan ke dalam kurikulum secara terintegrasi. Misalnya, dengan melibatkan para praktisi seperti Badan Penanggulangan Bencana di pusat maupun di daerah, Dinas Pemadam Kebakaran, SAR dan lainnya.
Untuk masyarakat umum, bisa dilakukan di setiap banjar dan kelompok-kelompok masyarakat seperti Karang Taruna, ibu-ibu PKK/Dharma Wanita dan lain-lainnya. Dengan langkah ini, penanganan kebencanaan bisa lebih optimal karena masyarakat sudah dibekali pengetahuan yang memadai. Mereka tidak hanya bisa menyelamatkan diri masing-masing sebagai langkah pertama dalam menghadapi kebencanaan, tetapi sekaligus siap menjadi relawan bagi yang lain.
Jika semua ini dapat terwujud, anggaran kebencanaan bisa ditekan untuk dialihkan ke pos-pos lain yang lebih memerlukan. Salah satunya, ke pos pendidikan dan pelatihan kebencanaan ini. Misalnya, untuk menyusun kurikulum tentang kebencanaan, termasuk membayar gaji/honor SDM yang terlibat dalam pendidikan dan pelatihan kebencanaan ini.