DENPASAR, BALIPOST.com – Menulis aksara Bali di lontar boleh jadi memiliki tingkat kesulitan tinggi. Selain harus mengetahui pasang aksara, kerapihan dan kebersihan tulisan juga menjadi hal yang wajib. Mengingat, kesalahan dalam menulis di atas lontar juga tidak boleh dicoret begitu saja.
“Ada tulisan aksara mati itu kan mengurangi nilai kerapihan, karena menulis lontar tidak boleh dicoret. Ketika ada salah menulis, untuk memperbaiki harus ngemademang (mematikan) aksara,” ujar Juri Lomba Menulis Bali di Lontar pada ajang Pesta Kesenian Bali (PKB) Ke-40, I Gde Nala Antara di Gedung Ksirarnawa, Taman Budaya Bali, Selasa (3/7).
Dalam lomba menulis lontar, lanjut Nala, wangun atau bentuk tulisan turut menjadi kriteria yang menentukan. Wangun tulisan paling tidak mendekati ‘bulat’, bukan baik tapi ‘wayah’ dan bertaksu.
Setelah itu, barulah teknik dan etika menulis yang dilihat karena memang berbeda antara menulis Bali di atas kertas dan di atas lontar. Kendati terbilang sulit, animo generasi muda khususnya anak-anak untuk menulis Bali di atas lontar dikatakan cukup tinggi.
“Animo anak-anak itu juga muncul di masing-masing kabupaten/kota atau kecamatan, ketika sekolahnya ikut lomba. Peminatnya pasti banyak. Persoalannya sekarang, justru di tingkat provinsi (lomba menulis lontar) hanya ada di PKB saja,” jelas akademisi FIB Universitas Udayana ini.
Menurut Nala, lomba menulis lontar tingkat provinsi selain PKB sudah dihentikan sejak dua tahun terakhir. Penghentian ini tak ubahnya memotong animo anak-anak yang sudah mulai muncul. Padahal jika terus rutin diadakan, sangat bagus dalam upaya pembinaan, dan pelestarian.
Terlebih, kini sudah ada perda tentang bahasa, aksara dan sastra Bali. Sesuai amanat perda, bulan Februari ditetapkan sebagai bulan bahasa Bali. “Kepada gubernur baru, harapan saya kegiatan-kegiatan yang memang bagus dalam rangka pelestarian, pembinaan dan pengembangan bahasa, aksara dan sastra Bali kedepan supaya lebih ditingkatkan,” imbuhnya.
Jika menulis lontar banyak digemari anak-anak, Nala menyebut tidak demikian untuk membaca lontar. Sebab umumnya, anak-anak di tingkat SD hingga SMA belum menganggap penting isi yang terkandung dalam lontar. Kecuali untuk generasi muda di tingkat perguruan tinggi atau orang-orang yang memang mempelajari teks-teks Bali.
Di tingkat perguruan tinggi, mencakup mahasiswa di Prodi Bahasa Bali dan juga mahasiswa diluar prodi itu yang memiliki ketertarikan. Misalnya, mahasiswa kedokteran yang ingin mempelajari tentang usada Bali atau mahasiswa pariwisata yang ingin tahu tentang kuliner Bali. “Yang tua-tua, pastilah, karena ketika mereka umurnya semakin bertambah, pola-pola untuk menambah wawasan ke-Bali-annya juga bertambah,” tandasnya. (Rindra Devita/balipost)