DENPASAR, BALIPOST.com – Penerapan sistem zonasi memicu masalah baru. Bukan saja di tingkat SMP, namun juga terjadi di jenjang SD. Terlebih, jumlah rombongan belajar yang ada di masing-masing sekolah hanya maksimal 32 orang.
Dampak penerapan aturan ini sangat dirasakan siswa di Denpasar. Karena itu, perlu ada evaluasi terhadap sistem yang diterapkan pada Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) untuk tahun ajaran (TA) 2018/2019.
Hal ini diungkapkan Sekretaris Fraksi Demokrat yang juga anggota Komisi I DPRD Denpasar I Made Sukarmana,SH., Selasa (3/7). Sukarmana mengatakan, saat ini banyak orangtua siswa yang mengeluhkan sulitnya mendapatkan sekolah. Selain karena ada zonasi, rombongan belajar di masing-masing sekolah sangat terbatas. Sedangkan jumlah siswa di Denpasar cukup banyak. “Ini yang menjadi persoalan, sehingga perlu ada evaluasi terhadap pola yang diterapkan,” katanya.
Menurut Sukarmana, adanya penerapan zonasi dan pembagian sekolah, semakin menyulitkan orangtua siswa. Mengingat, tidak sedikit warga di Denpasar ini yang tinggal di satu tempat, namun secara administrasi kependudukan di tempat lain.
Warga yang seperti ini sangat sulit untuk mendapatkan sekolah yang diinginkan. Kondisi ini dialami satu orangtua siswa, Putu Gede Ambara. Warga yang tinggal di Tonja ini terpaksa tidak bisa menyekolahkan anaknya di sekolah negeri. Masalahnya, secara administrasi kependudukan masih di tempat asalnya, Tabanan.
Padahal, anak mereka sejak TK sudah sekolah di Denpasar. “Kebijakan zonasi memang membawa berkah bagi sebagian orang, namun banyak siswa yang dirugikan,” ujar Ambara.
Sebelumnya pada saat rapat kerja dengan jajaran Komisi IV DPRD, Kepala Disdikpora Denpasar Wayan Gunawan mengatakan, pada tahun ini akan ada lulusan SD sebanyak 14.360 orang. Sedangkan yang bisa tertampung di SMP negeri hanya 3.680 saja. Mereka ini akan ditampung di 12 SMPN yang ada di Denpasar dengan 101 rombongan belajar (kelas). Sisanya dipastikan masuk di sekolah swasta.
Gunawan mengakui untuk jenjang SD masih menjadi kendala. Karena sesuai aturan pusat, untuk anak SD setiap kelas hanya bisa maksimal 32 orang. Bila terjadi pelanggaran terhadap jumlah rombongan belajar (rombel) akan ada sanksi yang cukup berat. Misalnya saja, guru tidak dapat sertifikasi, atau dana BOS tidak cair. “Ini yang menjadi persoalan kita di Denpasar yang jumlah siswanya cukup banyak,” katanya.(Asmara Putera/balipost)