Negeri ini disibukkan berbagai macam kegiatan politik. Hajatan politik bahkan terjadi hampir sepanjang tahun dengan durasi yang melelahkan. Untuk memilih gubernur misalnya, kita harus menunggu lebih dari enam bulan.
Prosesnya amat panjang. Biayanya juga tinggi. Potensi konflik juga terbuka. Jika dihitung mulai dari proses pemilihan kepala desa hingga presiden, tentu ada sekitar empat sampai lima kali agenda politik.
Walaupun pemilihan kepala desa bebas dari unsur politik, faktanya proses Pilkades ini dikelola oleh partai politik dengan menempatkan kadernya. Kita sangat yakin, pemilihan kepala desa tidak bebas dari aroma politik. Indikatornya, ada oknum kades yang menjadi perpanjangan tangan politikus dalam mengelola bansos beraroma politis.
Kembali pada agenda politik, setelah Pilkada lewat, kita akan disibukkan lagi oleh pemilihan presiden dan wakil rakyat April 2019. Pemilih di negeri ini dikabarkan akan mendapat lima lembar kartu suara.
Ada pemilihan presiden dan wakilnya, pemilihan anggota DPD, pemilihan DPR RI, pemilihan DPR Provinsi, dan pemilihan DPRD kabupaten/kota. Membayangkan jumlah surat suara saja kita sudah akan ribet. Padahal dalam urusan menentukan hak pilih tak perlu ribet. Masuk TPS dan coblos.
Namun, faktanya tak segampang itu. Banyak rakyat di negeri ini sudah dicekoki berbagai analogi. Persaingan tagar Ganti Presiden yang sedemikan panas belakangan ini tentu akan tambah mendidih menjelang Pilpres. Di daerah, persaingan antarcalon legislatif juga akan panas. Transaksi juga tetap berpotensi terjadi.
Ini tentu bukan hal yang gampang dikelola jika rakyat di negeri ini tak diedukasi untuk mengelola pesta politik secara bijak. Rakyat harus dibina agar cerdas dalam berpolitik, agar politisi yang dipercaya nanti benar-benar paham dengan NKRI. Politisi dan media massa jangan terus melakukan propaganda politik yang ujungnya berpotensi menimbulkan dikotomi antara kelompok nasionalis dan non-nasionalis.
Yang pasti, di negeri ini gaung hajatan politik jauh lebih dahsyat dari pembangunan ekonomi dan kepedulian terhadap lingkungan. Padahal pembangunan ekonomi justru lebih strategis untuk dikelola secara lebih intensif mengingat menentukan nasib rakyat.
Coba saja kita amati pemberitaan media massa dan televisi, negeri ini hampir tak pernah sepi dari agenda dan ulasan politik. Padahal, masalah di negeri ini begitu banyak. Mulai dari masalah pendidikan, pewarisan budaya, hingga strategi menjaga alam untuk menjamin generasi berikutnya bisa hidup nyaman dan aman di negeri ini.
Saat ini, urusan ekonomi tampaknya tak perlu kita perdebatkan. Permasalahan ekonomi warga di negeri ini sudah makin meresahkan. Turunnya daya beli dan mahalnya harga–harga mulai terasakan menekan kehidupan. Kita harus sadar dan segera melakukan langkah nyata untuk menuju perbaikan ekonomi publik.
Jika rakyat sebagai pendukung utama pesta demokrasi tidak ada dalam situasi sejahtera, maka jangan pernah berharap pesta demokrasi akan berkualitas. Golput dan transaksi politik akan tetap terjadi. Aturan ideal dalam perpolitikan negeri ini tetap saja akan hambar jika rakyat tak hidup layak. Untuk itu adalah sangat penting untuk membangun kualitas ekonomi publik untuk bisa melahirkan demokrasi yang sehat.
Jika pendukung demokrasi miskin, maka golput akan tetap tinggi. Provokasi akan mendapatkan medianya dan transaksi dukungan akan meningkat. Korelasi antara kualitas demokrasi dengan tingkat kesejahteraan rakyat tentu harus diseimbangkan.
Politisi dan pemimpin negeri ini jangan tersandera agenda politik sepanjang tahun. Harus ada keberanian dan kedewasaan untuk mengesampingkan perdebatan politik, jika waktunya belum datang.
DPR juga harus mengingatkan semua elemen bangsa ini jangan melakukan agenda politik yang berpotensi mengganggu stabilitas bangsa. Masalahnya, gangguan stabilitas juga akan berdampak pada strategi pemberdayaan ekonomi publik.