DENPASAR, BALIPOST.com – Tarian teater tradisional dan kontemporer berjudul “Mahabharata Lanna-Bali : A Journey of Cultures” berhasil memukau penonton di Gedung Ksirarnawa, Taman Budaya Bali, Jumat (6/7). Pentas untuk memeriahkan ajang Pesta Kesenian Bali (PKB) Ke-40 ini merupakan kolaborasi antara seniman Bali dan Thailand bagian utara.
Siapa sangka, kolaborasi apik ini justru berawal dari hubungan pertemanan tiga sahabat beda negara tersebut. Ketiganya adalah Prof. Waewdao Sirisook, seorang dosen di Chiang Mai University, Thailand, Kadek Dewi Aryani dari Nrittadewi Dance Company, dan Gusti Sudarta dari Bajradnyana Music Theatre. “Kita bertiga sudah berteman dari 2005. Kebetulan Prof. Waewdao memang berniat untuk tampil di Bali. Jadi, diajaklah mahasiswa semester 3 Music and Performing Arts. Kemudian karena kita berteman, saya dan Pak Gusti akhirnya ikut mensupport ide ini,” ungkap Dewi Aryani.
Menurut Dewi, persiapan untuk tampil di PKB hanya memakan waktu 3 hari. Sebab, Prof. Waewdao beserta mahasiswanya memiliki waktu terbatas hanya satu minggu saja.
Namun demikian, mereka bertiga sebelumnya telah banyak berdiskusi lewat surat elektronik atau email. Apalagi, ini merupakan kolaborasi pertama mereka di Bali. “Kami sering berkomunikasi dan sering bicara tentang kesenian lain juga. Termasuk festival, karena di Chiang Mai juga mau membuat ethnic dance festival Januari tahun depan. Hopefully, bisa undang orang Bali juga ke Thailand,” paparnya.
Sementara itu, Prof. Waewdao mengaku datang ke Bali untuk tampil di ajang PKB dengan biaya sendiri dan sponsor. Kendati demikian, pihaknya tetap datang dengan senang hati sepanjang PKB ataupun festival lainnya di Bali masih terbuka untuk mereka.
Bicara materi pementasan di ajang PKB kemarin, memang terinspirasi dari epos Mahabharata. Namun oleh seniman Thailand dibawakan dengan style Lanna dan beberapa sentuhan kreasi kontemporer. “Mahabharata diinterpretasikan secara abstrak. Setiap scene menceritakan tentang kejadian-kejadian dalam epos tersebut. Ceritanya mungkin terkesan jumping, karena memang tidak ada ikatan dari sebuah cerita. Cuma penafsiran dari Mahabharata itu sendiri,” jelasnya.
Dengan kata lain, lanjut Prof. Waewdao, karakter dalam Mahabharata diekspresikan sesuai dengan penafsiran masing-masing negara. Dalam hal ini, ada versi Thailand bagian utara dan Bali.
Ia sendiri ikut menari sambil membawa lilin, sebagai simbol api kemarahan atau kekejaman Duryodana yang setiap kali memiliki niat untuk menghancurkan Pandawa. “Dari segi cerita, sama antara di Bali dan Thailand. Hanya nama-nama karakter saja yang agak berbeda,” katanya. (Rindra Devita/balipost)