DENPASAR, BALIPOST.com – Decak kagum penonton mewarnai pementasan Sekaa Gong Jepun Putih, Persatuan Tuna Netra Indonesia (Pertuni) Badung di Kalangan Angsoka, Taman Budaya Bali, Senin (9/7). Banyak yang tidak percaya saat mengetahui seluruh anggota sekaa adalah penyandang tuna netra. Apalagi, aksi mereka di atas panggung tidak jauh berbeda dengan orang normal lainnya.
Tabuh kreasi Purwa Pascima mengawali penampilan Sekaa Gong Jepun Putih. Kendati menabuh dalam “kegelapan”, tabuh karya maestro gamelan Bali (alm) I Wayan Berata ini tetap mengalun dengan indah. Bahkan terdengar lebih tajam menusuk sanubari, lantaran ditabuh dengan penuh perasaan. Dari 25 penabuh yang terlibat, dua diantaranya adalah perempuan yang kebagian menabuh calung.
Selama tabuh ini dimainkan, penonton terus datang memadati Kalangan Angsoka. Gemuruh tepuk tangan mengapresiasi penampilan Sekaa Gong yang baru pertama kali tampil di ajang Pesta Kesenian Bali (PKB) Ke-40 itu. Tanpa banyak basa-basi, pertunjukan kedua langsung disuguhkan kepada penonton. Kali ini berupa tari Puspanjali yang berkolaborasi dengan penyandang disabilitas tuna rungu.
Penonton semakin terkesima, lantaran tari untuk menghormati tamu ini dibawakan dalam kebisuan. Ketujuh penari hanya mengandalkan isyarat dari seorang pelatih yang berdiri di depan panggung. Sebagai pamungkas, Sekaa Gong Jepun Putih dibantu Sanggar Seni Guntur Madu mengiringi pentas topeng Tugek Carangsari yang mengangkat cerita tentang Sang Bang Manik Angkeran.
Ketua Pertuni Kabupaten Badung, A.A. Ngurah Mayun Juliawan mengatakan, Sekaa Gong Jepun Putih dibentuk tahun 2015. Untuk tampil di PKB, latihan dilakukan rutin dua kali dalam sebulan. Segala sarana prasarana untuk latihan difasilitasi oleh Puri Agung Petang. Hampir tidak ada kesulitan yang dihadapi saat menabuh, kecuali bicara masalah dana. Untuk yang satu ini, disiasati dengan cara swadaya melalui iuran rutin anggota.
“Walaupun tidak sempurna seperti orang normal, tapi kami termotivasi untuk ngajegang dan ngewerdiang budaya Bali agar tidak musnah dan hilang digerus jaman,” ujarnya.
Kendati baru pertama kali tampil di PKB, Mayun mengaku sudah sering pentas sebelumnya. Antaralain, memeriahkan Festival Malam Kesenian Budaya Pemkab Badung, Hari Disabilitas Internasional, serta mengisi acara sosialisasi KPU.
Diwawancara terpisah, Pelatih Tari Ni Made Wulan Meriantini mengakui memang agak sulit untuk melatih penari tuna rungu. Bukan hanya soal komunikasi dengan isyarat. Tapi juga menjaga mood penari. Sebab kalau dipaksa menari saat tidak mood, mereka bisa “ngambul” alias tak mau menari.
“Paling lama melatih satu tarian itu sampai 6 bulan, paling cepat 3 bulan mereka sudah hapal,” katanya.
Menurut Wulan, para penari juga menguasai tari sekar jempiring, condong, legong, oleg, kupu-kupu tarum, dan manuk rawa. Awalnya, mereka diberi contoh gerakan tarian secara utuh. Setelah 2 bulan, umumnya mereka sudah hapal sehingga bisa dipandu hanya dengan menggunakan isyarat tangan. (Rindra Devita/balipost)