SINGARAJA, BALIPOST.com – Memasuki musim kemarau tahun ini sektor pertanian di Buleleng terancam akan mengalami kekeringan. Ini sulit dihindari karena debit air baku untuk irigasi pertanian di daerah ini turun drastis.
Tidak menutup kemungkinan saat puncak kemarau antara Agustus sampai September, sumber mata air baku akan mengalami kekeringan. Data dikumpulkan di Dinas Pertanian (Distan) Buleleng menyebutkan, di daerah ini memiliki 305 kelompok subak basah (sawah) tersebar di Kecamatan Buleleng, Sukasada, Sawan, Kubutambahan, Banjar, Seririt, dan Kecamatan Busungbiu.
Dari pengalaman musim kemarau terdahulu, lahan sawah yang berpotensi mengalami kekeringan ada di Kecamatan Buleleng, Sukasada, Sawan, Banjar, dan Kecamatan Seririt. Hanya saja, smapai sekarang ini, Distan belum mendapat laporan atau temuan kekeringan sawah di wilayah tersebut.
Kabid Produksi Tanaman Pangan Gede Suadnyana seizin Kepala Distan Buleleng Nyoman Genep, Selasa (10/7), mengatakan ancaman kekeringan tidak bisa dihindari karena sudah merupakan siklus alam. Apalagi, dari pengamatan dan pengalaman musim kemarau terdahulu kebanyakan lahan sawah tidak maksimal mendapat pasokan air, karena sumber mata air baku yang bisa dimanfaatkan oleh petani debitnya turun dibandingkan musim hujan.
Faktor penyebab lainnya adalah posisi sumber mata air baku berada di dataran rendah, sehingga petani sulit mengalirkan air untuk mengairi sawah mereka. Demikian juga, petani kebanyakan tidak memiliki sumur bor yang bisa diandalkan untuk menambah pengairan ketika musim kemarau tiba. “Ancaman kekeringan itu pasti ada dan faktor penyabbnya karena debit air untuk irigasi ini mengecil dan sumber airnya pasti akan ada yang mati total karena pengaruh kemarau. Sementara kalau infrastruktur irigasi sudah terpelihara dengan baik,” katanya.
Menurutnya, mencegah kerugian yang besar dialami petani akibat kekeringan, Distan sekarang ini sudah menyiapkan sejumlah program untuk membantu meringankan petani. Program itu adalah menyiapkan pinjaman mesin pompa air untuk subak yang memiliki lokasi sumur bor.
Selain itu, mesin pompa air juga siap dipinjamkan kepada petani yang ingin mengalirkan air dari sumber mata air yang lokasinya di dataran rendah. “Ini sudah kami sosialisasikan lewat penyuluh saat program pembinaan bahwa pengairan bisa menggunakan air sumur atau mengalirkan air lokasinya di dataran rendah dengan bantuan mesim pompa air yang kami siapkan,” jelasnya.
Upaya lain yang disiapkan adalah mendorong petani sebelum memulai menanam untuk mempertimbangkan cakupan air irigasi dengan lahan yang bisa diolah. Petani disarankan untuk tidak memaksa menanam padi dan menggantinya dengan palawija.
Solusi ini bisa mengurangi risiko kekeringan walaupun harga komoditasnya lebih rendah dibandingkan padi. Upaya lain adalah mendorong petani mengikuti program Asuransi Usaha Tanaman Padi (AUTP).
Upaya ini, kalau dalam masa tanam, petani mengalami kekeringan sampai mengakibatkan tanaman gagal panen dengan persentase kerusakan tanaman 75 persen, petani mendapat klaim AUTP itu sendiri. “Dari premi, petani membayar Rp 36.000 tiap satu hektar lahan dan selebihnya disubsidi pemerintah Rp 180.000 per hektar lahan dan nantinya kalau terjadi kerusakan tanaman 75 persen akibat bencana alam atau kekeringan petani dapat klaim Rp 6 juta per hektar,” jelasnya. (Mudiarta/balipost)