Penerimaan peserta didik baru (PPDB) tahun 2018 di Bali khususnya Denpasar telah berakhir. Namun, riaknya masih menyisakan gusar di kalangan orangtua murid, sekolah, tenaga pendidik, maupun siswa.
Memang solusi sementara yang ditawarkan dengan menambah rombongan belajar (rombel). Akan tetapi, solusi ini tidak serta merta bisa diterapkan, karena timbul permasalahan baru. Yakni, ketersediaan ruang belajar dengan berbagai fasilitasnya maupun tenaga pendidik/pengajar.
Sistem zonasi diharapkan dapat memacu sekolah berkompetisi meningkatkan mutunya. Dari sini, diharapkan mucul sekolah bermutu di tiap zona dan terjadi pemerataan mutu pendidikan. Namun kenyataannya, penerapan sistem ini telah memunculkan beberapa permasalahan. Sistem zonasi dinilai menimbulkan ketidakadilan. Mereka yang meraih nilai akademis tinggi “terbelenggu” di zonasi yang tidak sesuai kualifikasinya.
Mereka yang dari keluarga kurang mampu, diutamankan diterima di zonanya. Tetapi, tetap mengutamakan yang punya prestasi dan nilai akademis bagus. Ini menjadi dilema bagi calon peserta didik yang kurang mampu dari sisi akademis maupun pembiayaan.
Bisa saja di zona tersebut berkumpul siswa berprestasi dan memiliki nilai akademis bagus. Sementara, sekolah negeri atau ruang belajar yang ada di zona tersebut terbatas. Kondisi inilah yang menyebabkan ada siswa tercecer tidak dapat sekolah. Mengingat, pendaftaran di sekolah swasta telah berakhir sebelumnya.
Kondisi ini sepertinya luput dari pemikiran sistem zonasi. Bahwa, sistem zonasi baru akan efektif bisa dilaksanakan jika jumlah sekolah negeri (ruang belajar) di masing-masing zona itu mencukupi alias merata. Minimal, proporsional dengan jumlah calon siswa (jumlah penduduk) di tiap zona. Ini pun harus didukung dengan ketersediaan fasilitas serta jumlah dan kualifikasi SDM (tenaga pendidik) yang merata. Hal ini tidak serta merta dapat disediakan seperti halnya penambahan rombel.
Penerapan sistem zonasi juga dinilai sebagai pengingkaran terhadap Nilai Ujian Nasional (NUN). Siswa berlomba-lomba meraih NUN tertinggi untuk bisa diterima di sekolah impiannya. Sebelumnya, peraih NUN tertingi apalagi nasional, bebas memilih sekolah di mana saja bahkan di seluruh negeri ini. Artinya, mereka seharusnya bisa diterima dan bersaing di zona mana pun. Namun dengan sistem zonasi, mereka telah “dibelenggu” pada pilihan zonasi tempat tinggalnya. Ini tentu membuahkan kekecewaan.
NUN tertinggi yang diraih ternyata hanya berlaku di zonanya. Belum lagi ada kecenderungan, siswa yang nilainya bagus menjadi tidak berkembang jika bersaing di zona yang rata-rata nilai pesertanya rendah.
Jika tujuannya untuk memacu pemerataan mutu pendidikan, kewajiban pemerintah terlebih dulu memeratakan fasilitas pendidikan beserta sarana dan prasarana pendukungnya di semua zona. Termasuk pemerataan tenaga pendidik, baik dari sisi jumlah maupun kualifikasinya.
Sebab, sistem zonasi baru bisa memacu pemerataan peningkatan mutu pendidikan jika jumlah dan kualitas fasilitas pendidikan di tiap zona merata. Minimal, proporsional dengan jumlah calon siswa (penduduk) di zona tersebut. Juga, ketersediaan SDM pendidik di masing-masing zona, baik dari sisi jumlah maupun kualifikasinya.