Pementasan seni gandrung di Pesta Kesenian Bali (PKB). (BP/dok)

DENPASAR, BALIPOST.com – Tari gandrung atau tari gandrangan yang diiringi gamelan gandrung, merupakan sebuah tari pergaulan yang sangat sakral. Pada jaman dahulu, seluruh penarinya adalah laki-laki. Sejarahnya tidak lepas dari adanya gerubug di wilayah Banjar Ketapian Kelod, Kelurahan Sumerta, Denpasar Timur. Kala itu, suasana banjar tidak nyaman karena masyarakat banyak yang jatuh sakit.

“Dari masalah itu, Jero Mangku Gede Pura Batur pada saat yang dulu itu berinisiatif nunas ica ring ida sesuhunan-sesuhunan yang ada di wewengkonan Bali. Dari pawisik yang beliau terima, beliau nunas paica dari Ida Bhatari sane malinggih di Petitenget, ring Pura Dalem Meguwung lan Pura Dalem Ped,” ujar Jero Mangku Dalang Ketut Netra disela-sela pementasan tari gandrung oleh Sekaa Eka Budaya untuk ajang Pesta Kesenian Bali (PKB) Ke-40 di Kalangan Angsoka, Taman Budaya Bali, Kamis (19/7).

Baca juga:  Pawai PKB Ke-40 Diikuti 16 Peserta

Menurut Jero Mangku, paica atau anugerah yang diberikan berupa kesenian gandrung. Kondisi di banjar pun berangsur-angsur menjadi baik dan nyaman. Hingga sekarang, masyarakat tetap melanjutkan tradisi leluhur yang sudah mulai eksis sekitar tahun 1800 – an itu.

Koordinator Sekaa Eka Budaya, I Made Sudiana mengatakan, selain tari gandrangan ada pula garapan berupa tabuh petegak, tari surya kanta, dan tari telek. Tari surya kanta merupakan tarian palegongan yang berarti sinar yang selalu terang benderang tidak pernah redup. Tarian ini mengambil tema Arjuna Tapa.

Baca juga:  Syukuri Hasil Pertanian, Desa Adat Telun Wayah Miliki Upacara Bakti Sari

Sementara tari telek baru pertama kali dipentaskan di ajang PKB. Mengisahkan tentang kerinduan Bhatara Siwa kepada Bhatari Giri Putri (Dewi Uma) yang menghilang dan menjelma ke dunia sebagai Dewi Durga. Kemudian, diutuslah Bhatara Iswara, Bhatara Brahma, dan Bhatara Wisnu ke dunia untuk mencari Bhatari Giri Putri supaya kembali ke Siwa Loka. Diceritakan perjalanan Bhatara Iswara pergi ke empat penjuru dunia mencari Dewi Durga. Lakon ini ditarikan dalam empat penari bertopeng putih yang dikenal dengan telek.

Baca juga:  Meski Jauh dari Gunung Agung, Kuta dan Nusa Dua Terdampak

Selanjutnya, pencarian Bhatara Brahma ditarikan dengan penari bertopeng merah (jauk) dan topeng penamprat. Kemudian Bhatara Wisnu ditarikan dengan penari bertopeng hitam (Banaspati Raja). Ketiga utusan tidak berhasil membujuk Bhatari Giri Putri. Hingga akhirnya Bhatara Siwa yang turun sebagai Bhatara Ludra yang merasuki badan barong agar bisa bertemu dengan istrinya yang telah menjadi Durga. (rindra/balipost)

 

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *