DENPASAR, BALIPOST.com – Gara-gara dibawakan pohon cabe layu saat rapat kerja di DPRD Bali, Gubernur Bali Made Mangku Pastika ingin menutup fakultas Pertanian. “Tutup saja itu Fakultas Pertanian,” kata Gubernur Bali Made Mangku Pastika dalam rapat kerja antara eksekutif dan legislatif di DPRD Bali, Senin (23/7).
Pernyataan itu terlontar setelah gubernur menerima pohon cabe layu yang sedang berbuah lebat dari Ketua Komisi IV DPRD Bali, I Nyoman Parta. Para ahli pertanian di Bali dituding tidak mampu menangani masalah penyakit pada tanaman. Tidak hanya cabe, tapi juga komoditas lain yang ditanam petani.
“Ini tantangan kepada para ahli pertanian kita, lebih dari 100 doktor pertanian di Bali, mungkin ada 50 profesor. Tapi kita tetap tidak mampu menangani masalah penyakit cabe, penyakit jeruk, dan penyakit pisang,” ujar Pastika.
Dari pengalamannya sendiri menanam pisang di Buleleng seluas 1 hektar, seluruhnya layu dan mati saat sudah mau berbuah. Jika hal itu dialami oleh petani yang mempertaruhkan hidupnya pada pohon pisang, tentu menjadi tantangan untuk para ahli pertanian. Terlebih, urusan-urusan semacam itu tidak bisa diselesaikan dari dulu.
“Dari dulu anggur Seririt itu koq masam sampai sekarang, kenapa tidak bisa manis. Saya katakan perlu dianulir gelar-gelar ahli pertanian itu. Jadi agak ekstrim, saya berkali-kali bicara ini. Maaf kepada para ahli pertanian,” imbuh Pastika.
Lebih lanjut dikatakan, petani mengeluarkan banyak modal dan juga keringat dengan harapan hasil pertaniannya mencukupi untuk hidup. Kalau hanya dibiarkan demikian, Fakultas Pertanian dikatakan tutup saja dan perlu dievaluasi. “Masak nggak bisa sih, tidak mungkin nggak bisa. Ini kan ilmu nyata, bukan ilmu kebatinan. Harusnya bisa,” jelas Pastika.
Pernyataan gubernur rupanya menyulut reaksi Ahli Perlindungan Tanaman, Prof. Dr. Ir. I Wayan Supartha, MS., yang kebetulan hadir saat rapat kerja. Diwawancarai usai rapat kerja, Supartha menilai pernyataan hendak menutup Fakultas Pertanian dan menarik gelar para ahli pertanian itu tidak bijak.
Perguruan tinggi justru harus ada untuk dijadikan tempat mempelajari fenomena di alam. Sebab, tanaman sebagai organisme hidup mempunyai kemampuan adaptasi dan resistensi. Teknologi yang telah dihasilkan dan mampu menangkal penyakit bisa saja gugur karena iklim, atau tanaman yang sudah beradaptasi dengan lingkungan.
Target kerja professor bukanlah teknis, melainkan kajian untuk memecahkan masalah. Teknologi yang dihasilkan tidak langsung diserahkan kepada petani, namun lewat Balai Pengkajian dan selanjutnya diteruskan ke Dinas Pertanian. Pemerintah yang memiliki anggaran dan kewenangan untuk meneruskan kepada petani.
“Membubarkan institusi itu pernyataan tidak bijak dari seorang eksekutif, pimpinan. Jadi, tidak mengayomi karena pemerintah itu bukan mendestruksi struktur, tetapi merehabilitasi supaya dia lebih berfungsi untuk memberikan kontribusi bagi masyarakat. Kami akademisi ini jujur saja sebagai manusia, kita disinggung perasaannya. Tetapi kami menyadari, forum ini bukan forum kami,” paparnya.
Supartha menegaskan tidak mencari pembenaran. Namun hanya kaget pernyataan seperti itu keluar dari seorang pimpinan yakni gubernur. Mengenai pohon cabe layu, dari pengamatan sepintas disebut terkena penyakit busuk pangkal batang. Penyebabnya adalah jamur, dan hanya menyerang batang tertentu saja. Kasus seperti ini sebetulnya sering terjadi di musim hujan, namun menjadi sangat seksi ketika disampaikan oleh politisi.
“Dalam konteks seperti ini, kuncinya monitoring. Gejala ini tidak seketika terjadi, pasti ada gejala awal. Gejala awalnya yang tidak dipantau, padahal di dalam sistem kami itu ada. Kita bisa melakukan tindakan, mungkin tanahnya kurang bagus kita bisa beri treatment di awal atau pupuknya. Terakhir baru kita menggunakan pestisida atau fungisida,” jelasnya.
Sementara Ketua Komisi IV DPRD Bali, I Nyoman Parta mengatakan, pohon cabe petani se-Subak Guwang bahkan Sukawati kini layu padahal tengah berbuah. Namun, tidak ada pejabat yang mendampingi dan memberikan solusi kepada mereka. Di lapangan, ada yang mengatakan hal ini terjadi karena faktor drainase.
“Gubernur harus tegaskan kepada dinas pertanian atau badan yang mampu mencari sumber penyakitnya. Bagi cabe yang masih hidup sekarang agar bisa diselamatkan, ada tidak obat yang bisa menyelamatkan agar tidak mati semuanya,” ujarnya.
Kepala Dinas Tanaman Pangan, Hortikultura dan Perkebunan Provinsi Bali, Ida Bagus Wisnuardhana mengaku baru menerima laporan terkait penyakit cabe di Subak Buluh, Desa Guwang, Sukawati, Gianyar. Namun tim dari laboratorium UPT. Balai Perlindungan Tanaman Pangan dikatakan sudah turun ke lapangan.
“Laporan sementara itu adalah penyakit yang disebabkan oleh jamur. Subak Buluh itu 20 hektar, yang terserang 12 hektar. Tapi intensitasnya masih kita cek. Kalau berat, biasanya kita bongkar. Tapi kalau serangannya ringan kita berikan fungisida,” ujarnya.
Wisnuardhana mengaku tidak menerima laporan penyakit cabe selain di Guwang. Di Bali, lahan cabe ada lebih dari 1500 hektar. Terluas di Buleleng, Karangasem, dan Klungkung. Lahan cabe di Gianyar secara keseluruhan termasuk sedikit, hanya 85 hektar. (rindra/balipost)
Cari kambing hitam memang gampang, gagalnya suatu produksi pertanian bukan hanya dari satu unsur, banyak sekali yang terlibat sehingga biji tumbuhan menjadi hasil produksi pertanian, emangnya sarjana pertanian itu single fighter di bidang pertanian ?
Pak Gubernur yang bisa tolong petani itu sesama petani bukan yang lain .