TABANAN, BALIPOST.com – Harga jual telur ayam saat ini mencapai titik tertinggi atau termahal sepanjang sejarah. Saat ini harga jual telur ditingkat peternak mencapai Rp 1.370 per butir atau Rp 42 ribu per keratnya. Meski mencapai harga tertinggi, peternak justru merasa khawatir.
Peternak ayam petelur Desa Buruan Penebel Tabanan, Darma Susila, Selasa (24/7) mengatakan kekhawatiran peternak dengan mahalnya harga telur ini beralasan. Sebab meski harga jual mahal ternyata keuntungannya tidak seberapa karena semakin mahalnya biaya produksi.
Darma menjelaskan, kenaikan harga telur tahun ini memang yang paling mahal selama ia menekuni usaha ternak ayam petelur. Tahun lalu harga telur bercokol di Rp 1.200 dan tahun ini naik menjadi Rp 1.370. Namun kenaikan ini rupa-rupanya diiringi dengan kenaikan biaya produksi. Sebab, harga pakan pabrikan naik Rp 300 per kg.
‘’Kenaikan harga pakan ini karena adanya penguatan dollar terhadap rupiah. Sebab, bahan baku pakan pabrikan semuanya masih import dan tergantung dari nilai dollar,’’ ujarnya.
Tidak hanya pakan pabrikan, harga pakan jagung juga naik menjadi Rp 4.000 per kg. Kenaikan harga ini sudah berlangsung selama dua minggu terakhir. Selain kenaikan harga pakan kebijakan oleh pemerintah menyangkut pelarangan AGV dalam pakan menjadi salah satu tantangan yang dihadapi peternak di tahun 2018 ini.
Kata Darma pelarangan AGV pada pakan menyebabkan produksi telur pada ayam mengalami perlambatan. Biasanya ayam petelur sudah berproduksi mulai usia 16 minggu, dan puncak produksi terjadi di umur 26 -27 minggu.
Pada usia tersebut produksi bisa mencapai 96 persen dari total jumlah populasi kandang. Kini setelah AGV dicabut, produksi menjadi mundur, karena ayam baru berproduksi mulai usia 20 -22 minggu, dan puncak produksi terjadi di usia 30 minggu dengan menembus kisaran 88 persen.
‘’Selain produksi melambat, usia ayam juga mengalami penurunan. Dulu 96 persen ayam bertahan hingga umur 50 minggu. Namun, kini hanya 88 persen ayam bertahan hingga usia 35 minggu, bahkan cendrung turun. Akibatnya, produksi yang sebelumnya bisa mencapai 75 persen, kini hanya rata-rata produksi di bawah 70 persen,” ujarnya.
Produski telur yang turun inilah yang menjadikan harga telur menjadi naik secara signifikan. Darma melanjutkan kenaikan harga telur karena prosentase produksi ditingkat peternak rendah tidak langsung menguntungkan karena peternak menanggung biaya produksi yang lebih berat dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
“Untuk mengatasi ini saya berharap pemerintah bisa membantu menyikapi. Jangan hanya melihat dari sisi konsumen saja dengan wacana akan menurunkan harga telur dipasaran. Mestinya, pemerintah menyikapi kondisi ini dengan berupaya meredam gejolak rupiah, karena dari sanalah awal penyebab melonjaknya harga telur saat ini,” tegasnya. (wira sanjiwani/balipost)