BANYUWANGI, BALIPOST.com – Suku Using, Banyuwangi memiliki segudang tradisi unik dalam menjaga alam. Salah satunya, menggelar tradisi Ithuk-ithukan di Dusun Rejopuro, Desa Kampunganyar, Kecamatan Glagah, Rabu (25/7).
Tradisi kuno ini diikuti seluruh warga setempat. Sejak pagi, mereka berbaris rapi, berbusana khas Using. Kebaya hitam dan kain batik. Kaum ibu, memanggul tumpeng yang dikenal dengan Ithuk-ithukan. Isinya, beragam menu makanan sederhana dan ayam bakar. Dalam bahasa setempat, ithuk berarti alas makanan berbahan daun pisang. Tumpeng ayam ini kemudian diarak keliling dusun setempat, berakhir di mata air Sumber Hajar.
Setelah doa, tumpeng disantap bersama di dekat mata air. “ Ini tradisi melestarikan alam, khususnya mata air. Sebab, mata air ini yang mengairi sawah dan untuk kebutuhan sehar-hari warga,” kata Sarino, sesepuh Dusun Rejopuro.
Pria ini menjelaskan, tradisi Ithuk-ithukan ini digelar setiap 12 Dulqaidah (bulan ke sebelas penanggalan Hijriyah). Tradisi ini, lanjutnya, selain sebagai bentuk rasa syukur kepada Yang Maha Agung atas sumber daya alam yang melimpah, juga agar masyarakat bisa saling kepethuk (bertemu). “Ithuk ini juga diambil dari kata kepethuk. Thuk lalu menjadi ithuk. Banyaknya ithuk yang disajikan ini menandakan jangan sampai ada masyarakat yang lapar. Semua harus kebagian, bahkan yang sedang sakit sekali pun akan kami antarkan ithuk ini ke rumahnya,” jelasnya.
Ditambahkan, tradisi ini juga bentuk syukur atas melimpahnya sumber air di desanya yang melimpah, tidak pernah kering sepanjang tahun. “Kami bisa mengairi sawah dan melakukan aktivitas lainnya di sumber tersebut. Berkat sumber air itu pula, hidup kami disini terasa nikmat,”imbuhnya.
Dengan sumber air itu, lanjut dia, warga bisa dekat satu sama lain. Karena itu, dusun ini dikenal dengan Rejopuro. Artinya, ramai dan selalu saling memaafkan. Kebetulan,mayoritas warga setempat berpofresi sebagai petani. Sehingga, sangat akrab dengan mata air. Aliran mata air ini mengalir langsung dari lereng Gunung Ijen. (Budi Wiriyanto/balipost)