Salah satu peserta BEC menggunakan kostum Ombak Selat Bali. (BP/udi)

BANYUWANGI, BALIPOST.com – Ajang peragaan busana etnik kontemporer Banyuwangi Ethno Carnival (BEC) 2018, terasa beda, Minggu (29/7). Birunya ombak Selat Bali hingga alam Watudodol dikreasikan dalam busana yang unik, menarik.

Beragam busana hasil kreasi seniman Banyuwangi ini mengambil tema tradisi Puter Kayun. Tradisi arak-arakan dokar dari Desa Boyolangu ke Pantai Watudodol ini biasanya digelar tujuh hari setelah Lebaran.

Tahun ini, sebanyak 120 seniman turun mengenakan beragam pakaian unik. Beratnya rata-rata diatas 20 kilogram. Biayanya, bisa mencapai Rp 10 juta per kostum. Sesuai tema, baju kontemporer mengisahkan tradisi Puter Kayun. Mulai dokar, kusir dokar, kuda, keris yang dipakai ritual hingga birunya ombak Selat Bali.

Baca juga:  Mohon Bantuan Dana Pura

Seluruhnya dikreasikan dalam busana kontemporer. Sentuhan seninya cukup kental. Ditambah penampilan talent atau pembawa busana yang menyentuh, mengikuti tema. Diiringi gamelan angklung khas suku Using, Banyuwangi, peragaan busana BEC ini terasa meriah. Para talent berjalan menyusuri jalanan kota. “Ini ide yang luar biasa. Tentunya, akan dikembangkan terus ke depan. Tempat lain mungkin ada peragaan busana serupa, tapi di Banyuwnagi ini terbagus,” kata Menteri Koordinator Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan usai melihat pagelaran BEC.

Pihaknya berharap even seperti bisa menjadi magnet menyedot wisatawan, termasuk menjadi media saling menghargai.

Bupati Banyuwangi Abdulah Azwar Anas mengatakan setiap tahun tema BEC dibuat beda. Seluruhnya mengangkat potensi budaya, adat maupun kekayaan alam Banyuwangi.

Baca juga:  Sepanjang 2023, Ekonomi Indonesia Tumbuh 5,05 Persen

Tahun ini adalah BEC ke tujuh yang digelar sejak tahun 2011. “Kita angkat budaya dan tradisi serta kekayaan alam dalam balutan busana kontemporer. Ini murni kreasi seniman lokal,” kata Anas.

Tahun ini, mengambil tema tradisi Puter Kayun. Tradisi ini berkaitan pembukaan jalaur lintas pantai utara Jawa hingga ke Banyuwangi.

Kala itu, Belanda kesulitan membongkar batu di pesisir pantai, yakni Watudodol. Akhirnya, tokoh warga Boyolangu, Kecamatan Giri, Banyuwangi, Ki Buyut Jakso berhasil membongkar batu itu, menggunakan tenaga para lelembut. Syaratnya, setiap tahun, keturunan Ki Buyut Jakso menggelar selamatan di Pesisir Watudodol. Mereka selalu datang menggunakan iring-iringan dokar atau kereta kuda. “Tradisi terus turun temurun hingga sekarang,” tegasnya.

Baca juga:  Pemerintah Gunakan Alat Berat Bersihkan Material Vulkanik Gunung Semeru

Tak hanya seniman umum, sejumlah instansi juga ikut turun di ajang BEC. Seperti, anggota Polres Banyuwangi, baik polwan maupun polisi laki-laki. Mereka turut menggunakan busana kontemporer untuk memeriahkan acara. “Ini baru pertama kali. Kami ikut untuk memeriahkan pagelaran BEC, termasuk ikut melestarikan budaya Banyuwangi,” kata Bripda Ela Suksma, anggota Satlantas Polres Banyuwangi. (Budi Wiriyanto/balipost)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *