MANGUPURA, BALIPOST.com – Secara umum, Indonesia merupakan daerah rawan gempabumi. Hal ini disebabkan karena Indonesia dilalui oleh jalur pertemuan 3 lempeng tektonik, yaitu Lempeng Indo-Australia, Lempeng Eurasia, dan Lempeng Pasifik.
Lempeng Indo-Australia bergerak relatif ke arah utara dan menyusup ke dalam Lempeng Eurasia. Sementara Lempeng Pasifik bergerak relatip ke arah barat. Jalur pertemuan ketiga lempeng ini berada di laut, sehingga apabila terjadi gempabumi besar dengan kedalaman dangkal, maka akan berpotensi menimbulkan tsunami.
Sementara itu, kondisi tektonik Pulau Bali dan sekitarnya merupakan bagian dari seismotektonik Indonesia. Daerah ini dilalui jalur pegunungan Mediteranian dan adanya zona subduksi akibat pertemuan antara Lempeng Eurasia dan Lempeng Indo-Australia.
Batas pertemuan ini berupa palung lautan (Oceanic Trench) di sebelah selatan gugusan pulau Jawa, Bali dan Nusa Tenggara. Maka dengan kondisi yang demikian akan mengakibatkan Pulau Bali sebagai salah satu daerah yang mempunyai tingkat kegempaan yang cukup tinggi berkaitan dengan subduksi lempeng dibawah Paparan Sunda dan aktivitas tepi benua Australia serta kelanjutan garis Busur Sunda kearah timur yang bertemu dengan Busur Banda. “Namun secara nasional Bali termasuk risiko sedang atau moderat alami kegempaan dibandingkan daerah lainnnya,” ujar Kepala Balai Besar Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BBMKG) Wilayah III Denpasar, Drs. M. Taufik Gunawan, Dipl., SEIS., Rabu (8/8).
Dijelaskan, ada 4 faktor yang menyebabkan terjadinya kerusakan gempabumi. Yaitu, kekuatan gempa, jarak gempa, kondisi geologis, dan kondisi bangunan. Secara umum, dikatakan bahwa bangunan di Bali, selain perkantoran dan gedung-gedung perbelanjaan dan sekolah masih belum memenuhi syarat, terutama jika digoncang gempabumi.
Bangunan rumah dan bangunan suci (pura) masih sangat rawan ambruk jika diguncang gempabumi dengan magnitudo besar. Hal ini disebabkan, karena sebagin besar beton maupun temboknya tidak terdapat tulang yang terbuat dari besi. “Kalau bangunan seperti perkantoran dan mall, paling yang roboh cuma plafonnya saja, dan itu termasuk kerusakan sekunder saja,”tandasnya.
Sementara itu, untuk meminimalisir terjadinya korban akibat gempabumi, BMKG bekerjasama dengan BPBD telah melakukan sosialisasi berupa simulasi bencana kepada masyarakat. Pihaknya mengakui bahwa kesadaran masyarakat Bali tanggap terhadap bencana yang diakibatkan gempabumi sangat tinggi.
Bahkan, Bali termasuk salah satu pulau terbaik dalam tanggap bencana gempabumi selain di Padang, Sumatera Barat. “Bahkan di Bali ada Desa tanggap bencana dan sekolah-sekolah juga sering mengadakan kegiatan simulasi bencana, sehingga kami datang cuma menjadi narasumber saja,” ujarnya.
Akademisi Universitas Warmadewa (Unwar), Dr. Ir. Wayan Parwata, MT., memgatakan bahwa idealnya bangunan Bali sudah teruji terhadap gempa. Apalagi, bangunan Bali berstruktur elastis, sehingga saat diguncang gempabumi akan bergerak mengikuti getaran gempabumi.
Kendati demikian, saat ini sistem kontruksi bangunan yang berkembang di masyarakat Bali masih banyak yang tidak memenuhi syarat, baik dari segi perhitungan maupun kualitas material. Keberadaan bangunan semacam itu pun dinilai tidak dapat dideteksi, cenderung liar, dan tidak dikontrol dengan baik. “Di lapangan banyak yang tidak terdeteksi, padahal mestinya bangunan menengah ke bawah, yang memaksakan untuk dilantaiduakan harus terkontrol dengan baik. Bukan hanya bangunan pribadi yang menengah ke bawah saja, bangunan layanan publik juga ada yang demikian,” ujar Wakil Rektor III Unwar ini.
Perhitungan bangunan semacam itu seringkali mengesampingkan aspek perhitungan, baik antara pondasi bangunan, berat atap, dan perhitungan kolom antarkolom. Secara teori, semakin pendek jarak antar kolom maka akan semakin kuat. Hal ini juga berlaku terhadap material bangunan yang digunakan. Semakin berkualitas material yang digunakan, maka bangunan yang dihasilkan akan semakin baik. “Saat ini banyak material yang digunakan membangun kurang pas, misalnya penggunaan besi antar kolom yang tidak memenuhi syarat. Pondasi yang seharusnya foot plat tapi menggunaakan pondasi menerus, karena tidak memperhitungkan struktur tanah atau mungkin tidak ada biaya, juga perhitungan perekat antar plat dan kolom, kesesuaian besar balok dengan jarak kolom, serta perhitungan dan pemilihan atap,” ungkap Dosen Teknik Unwar tersebut.
Untuk meminimalisir dampak, Parwata berharap ke depan setiap pembangunan bisa dibarengi dengan pertimbangan-pertimbangan yang komprehensif, utamanya dari sisi keamanan. “Supaya tidak saling menyalahkan, ke depan mungkin setiap bangunan pribadi ketika mengusulkan IMB harus dibarengi dengan pengusulan standar layak fungsi, agar gedung bisa dijamin keamanannya. Kalau hotel dan layanan publik lainnya di Bali saya lihat sudah berstandar,” pungkasnya. (Winatha/balipost)