I Putu Agus Karang Juliantara, dipangkuan kedua orangtuanya I Wayan Subagia dan Ni Nyoman Suami. (BP/nik)

GIANYAR, BALIPOST.com – Nasib naas dialami I Putu Agus Karang Juliantara, bocah 4 tahun yang menderita hedrocepalus asa Banjar Mawang Kaja, Desa Lodtunduh, Ubud. Kondisi ini dialami bocah kelahiran 18 Juli 2014 ini saat baru memasuki usia 42 hari. Lahir dikeluarga kurang mampu, membuat pengobatan untuk bocah ini tersendat, bahkan pernah enam bulan tak mendapat perawatan dokter.

Sang ibu, Ni Nyoman Suami (42) ditemui Jumat (17/8) menuturkan saat hamil 5 bulan putra pertamanya ini, ia pernah jatuh namun tidak ada tanda sakit. Nah memasuki usia kandungan 7 bulan, Ni Nyoman Suami mengalami pendarahan, sehingga Putu Karang harus dilahirkan secara sesar.

Kala itu, menurut dokter bayinya dalam kondisi sehat, meski lahir sesar umur 7 bulan kandungan. Namun seiring berjalannya waktu, ia pun curiga melihat kepala buah hatinya membesar perlahan. “Waktu itu kami langsung konsultasi ke rumah sakit, dan kata dokter anak saya menderita hidrocepalus, tapi tidak aktif,“ ungkapnya.

Baca juga:  Membangun Keberpihakan pada Anak

Dikatakan pula saat itu dokter menyarankan memasang selang di kepala tembus perut. Namun pada saat itu, Putu Karang belum punya jaminan kesehatan. Sedangkan biaya pemasangan selang diperkirakan menghabiskan dana sebesar Rp 10,5 juta.

Ia akhirnya konsultasi dengan keluarga dan kerabat, pasutri inipun diarahkan untuk daftar BPJS Kesehatan Mandiri. Mereka terdaftar di kelas III. “Sebenarnya lebih cepat dipasang selang lebih bagus, tapi karena proses kartu itu baru selesai usia dia 5 bulan. Baru saat itu dilakukan operasi pasang selang,” jelasnya.

Hingga kini usianya 4 tahun, selang masih tertanam di bawah kulit Putu Karang. Nah sekitar 2 atau 3 tahun lagi, disarankan operasi lagi perpanjangan selang. Selama ini, Putu harus rutin kontrol ke RSUP Sanglah. Terutama untuk melakukan pemeriksaan tumbuh kembangnya. “Baru-baru ini, pemeriksaan THT selesai. Sudah tidak ada masalah dengan pendengarannya, “ jelasnya.

Baca juga:  Kakek Cabuli Anak Dibawah Umur

Dikatakan saat ini tinggal pengobatan mata dan terapi jalan. Ditambahkan Terapi dilakukan minimal sekali dalam seminggu. Setiap kali terapi, pasutri dari keluarga kurang mampu ini selalu pinjam sepeda motor. Selalu membawa bekal nasi, air panas dan kopi dari rumah.

Sering kali, pasutri ini hanya berbekal uang Rp 15 ribu untuk mengantar anaknya kontrol. “Segitu saja sudah cukup, karena kami bawa bekal makanan dari rumah. Disana sama sekali ndak belanja,” jelasnya.

Baca juga:  Tingkatkan Profesionalitas, Polda Bali Lakukan Rekrutmen Terbuka Jabatan Kasat Reskrim

Saking terhimpitnya perekonomian keluarga ini, pengobatan Putu Karang pernah berhenti selama 6 bulan. Pasutri inipun kena marah dari dokter, sebab Putu Karang harus konsisten melakukan pengobatan dan terapi. “Kata dokter selang ini harus rutin dicek. Takutnya ada infeksi atau tersumbat. Dia juga nggak boleh jatuh, nangis tidak boleh terlalu kencang takutnya step dan kejang,” tandasnya.

Masalah ekonomi yang dialami keluarga Putu Karang bukan tanpa alasan, terlebih sang ayah, I Wayan Subagia (44) yang mengalami polio yang bekerja sebagai tukang sapu. Terkait bantuan pemerintah, Nyoman Suami mengaku tak pernah merasakan. Jaminan kesehatan pun ia bayar secara mandiri sebesar Rp 102.000 untuk 4 anggota keluarga termasuk bibinya yang sudah renta. (manik astajaya/balipost)

 

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *