DENPASAR, BALIPOST.com – Penyedotan pasir yang meresahkan masyarakat awalnya dilakukan untuk mereklamasi pantai yang rusak. Perijinannya dikeluarkan oleh Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Provinsi Bali. Namun belakangan justru terkait pula dengan perluasan apron Bandara Ngurah Rai.
Izinnya tidak lagi dikeluarkan Pemprov Bali, melainkan Kementerian Kelautan dan Perikanan serta Kementerian Perhubungan. “Pengambilan pasirnya sudah selesai kayaknya itu. Artinya gini, kalau ijin saya itu kan untuk reklamasi pantai yang rusak. Jadi tidak masalah itu, justru itu yang kita harapkan. Ternyata dapat juga izin dari pusat yang dipakai untuk bandara. Jadi bukan izin kita, itu izin pusat,” ujar Kepala DPMPTSP Provinsi Bali, I.B.Parwata dikonfirmasi, Senin (20/8).
Menurut Parwata, pengembangan apron bandara Ngurah Rai dengan cara reklamasi merupakan proyek strategis nasional dan menjadi prioritas dalam rangka menyambut IMF-World Bank Annual Meeting. Selain dilakukan pula untuk mempersiapkan kedatangan 10 juta wisatawan di tahun 2025.
Pesawat-pesawat yang nantinya mengangkut delegasi IMF-World Bank diharapkan bisa parkir di Bali, dan tidak lagi parkir di Surabaya, Banyuwangi atau Lombok. “Itu sebenarnya sangat menguntungkan Bali. Proyeknya Pak Presiden, proyek strategis dan prioritas. Tidak bisa dihalang-halangi, harus jalan,” jelasnya.
Parwata menambahkan, sosialisasi sebelumnya juga telah dilakukan. Saat turun ke lapangan, pihaknya tidak menerima protes dari bendesa adat di sekitar sana.
Justru para bendesa dikatakan setuju Bandara Ngurah Rai diperluas. Hanya memang, mereka meminta agar ada proses revitalisasi jika proyek tersebut menimbulkan abrasi pantai. “Perluasan bandara ini memang mendesak sekali,” imbuhnya.
Berkaitan dengan pengerukan pasir di kawasan Pelabuhan Benoa, Parwata menyebut itu dilakukan untuk memperluas sandaran kapal. Pasir dikeruk agar kapal tidak karam dan yang bersandar bisa lebih banyak.
Sebelumnya, Ketua Komisi I DPRD Bali, I Ketut Tama Tenaya menerima masukan dari masyarakat Desa Adat Kutuh, Kuta Selatan, dan sekitarnya yang resah dengan hadirnya kapal-kapal penyedot pasir di Bali Selatan. Pihaknya khawatir, eksploitasi secara masif ini akan menambah parah abrasi pantai mulai dari Tanjung Benoa, Nusa Dua, Kutuh, Ungasan, hingga Pecatu.
“Kapal itu jalan nyedotnya. Air laut sudah mulai keruh, makanya rakyat menjerit,” jelas Politisi asal Tanjung Benoa, Badung ini.
Menurut Tama, aktivitas masyarakat khususnya nelayan yang bermata pencaharian di laut sangat terganggu dengan penyedotan pasir itu. Disamping daratan yang juga potensial tergerus. Dikatakan, pemerintah semestinya memperhatikan keamanan daerah pesisir yang penghidupannya hanya tergantung di pantai dan laut.
“Tidak pernah ada sosialisasi apapun tentang kegiatan penyedotan pasir dasar laut untuk proyek Pelabuhan Benoa dan Bandara Ngurah Rai itu,” imbuh Politisi PDIP ini. (Rindra Devita/balipost)