SERANGKAIAN HUT ke-12 Yayasan Sabha Budaya Bali, dirangkaikan dengan HUT ke-7 Sabha Purohito, digelar workshop Tari Rejang Renteng dan diskusi kelompok terfokus membahas hubungan sejarah Bali dengan Papua, Jumat (24/8). Bertempat di Ruang Rapat Praja Mandala Kantor Bupati Klungkung, acara ini dibuka Kadis Kebudayaan Provinsi Bali Dewa Putu Beratha, didampingi Bupati Klungkung, I Nyoman Suwirta.
Ketua Panitia Workshop yang sekaligus Ketua Umum Yayasan Sabha Budaya Bali Dr. Drs. I Gusti Made Ngurah M,Si., mengatakan pihaknya tertarik dengan fenomena semakin maraknya kelompok ibu-ibu menarikan rejang renteng di sela-sela pelaksanaan Dewa Yadnya. Selama ini masyarakat dirasakan belum memahami dengan jelas bagaimana, di mana dan kapan sepatutnya membawakan tarian tersebut.
Workshop ini memberikan batas-batas dalam menampikan tari rejang renteng. Karena sejauh ini belum ada aturan yang baku tentang fungsi dan tempat yang pantas untuk dibawakan. “Melalui workshop ini diharapkan dapat memberi pemahaman yang benar tentang Tari Rejang Renteng, serta hasilnya bisa digunakan sebagai refrensi oleh lembaga, instansi yang berwenang yang berkaitan dengan pelestarian adat dan kesenian di Bali yang dijiwai oleh agama Hindu,” ujarnya.
Selain itu dalam seminar ini dibahas pula pengunaan burung cendrawasih yang kerap digunakan dalam upacara hindu di Bali.
Gubernur Bali Made Mangku Pastika dalam sambutannya yang dibacakan Kadis Kebudayaan Provinsi Bali, Dewa Putu Beratha pun melihat tari rejang rejang renteng marak dibawakan oleh ibu ibu dalam berbagai prosesi keagamaan sangat menarik untuk dibahas. Kembali ditegaskan, semua pihak harus tahu menempatkan fungsi secara baik dan benar.
Sementara itu, Bupati Suwirta sangat mengapresiasi kegiatan ini. Menurutnya, fenomena membawakan tari rejang renteng disetiap upacara yadnya belakangan ini menunjukan tingginya semangat para ibu-ibu untuk melestarikan kesenian adat. Terkait seringnya tarian sakral yang diplesetkan dan dibawakan dengan tidak benar, ia meminta supaya ada tuntunan dan himbauan dari tokoh masyarakat. “Sehingga pembawaaan tari sakral tidak menjadi lawakan yang bisa dianggap melecehkan budaya dan kesenian,” tegasnya.
Pada acara tersebut, selain diisi dengan pemotongan tumpeng, juga dipentaskan dua tari Rejang Renteng dari Karangasem dan asli Nusa Penida. Meskipun memiliki nama yang sama namun terdapat perbedaan yang mencolok dari segi gerakan dan peralatan menari hingga alunan gamelan. Turut hadir dalam workshop itu para sulinggih, Bendesa Agung MUDP Provinsi Bali, Ketua PHDI, Kepala Kakanwil Kementerian Agama Provinsi Bali, Ketua Listibia serta pihak terkait lainnya. (adv/balipost)