DENPASAR, BALIPOST.com – Kemenangan masyarakat Bali atas Teluk Benoa menjadi kebahagiaan tak terkira bagi semua aktivis yang terlibat dalam ForBALI. Pengalaman panjang selama 5 tahun lebih melakukan gerakan Bali Tolak Reklamasi (BTR) tak melulu mulus.
Sederet musisi yang vokal menyuarakan penolakan bahkan sampai rela kehilangan job manggung. “Pengalaman saya pribadi ikut di ForBALI dari mulai pembentukan sub divisi di Taman 65, saya ingat sekali sore-sore itu kita bikin. Pengalamannya sangat panjang, 5 tahun,” ujar Manajer Band Superman Is Dead (SID), Dodik.
Tahun 2016 bisa jadi tahun yang berat bagi SID. Dodik menuturkan, ada satu sponsor yang sangat besar menarik diri dan tidak mau ada SID dalam konser-konser mereka. Wacana yang muncul, sang pemilik sponsor tidak mau terlibat dalam “pertarungan” SID.
“Katanya, ‘kita tidak tahu ini pertarungannya apa. Saya tidak mau terlibat disana’, sehingga hampir 80 persen band kehilangan job. Itu secara nasional. Di Bali pun, sulit sekali mendapatkan izin kalau menaruh nama band di proposal,” kenangnya.
Menurut Dodik, mungkin baru pertama kali di setiap konser SID ada pengacara ForBALI yang berjaga di belakang panggung. Ini tidak lepas dari adanya intimidasi aparat dan lainnya lantaran SID merupakan band yang getol menolak reklamasi Teluk Benoa. “Sekarang dengan kemenangan ini, sudah bisa sedikit bernafas. Walaupun perjuangan belum berakhir. Saya pribadi, dan saya yakin juga kawan-kawan saya di Superman Is Dead tidak akan mundur dari perjuangan,” ujarnya.
Personel Trio Folk “Nosstress”, Komang Gunawarma seperti mau menangis saat mendengar tentang kemenangan masyarakat Bali atas Teluk Benoa. Memori di kepalanya seakan berloncatan keluar mengenai perjuangan 5 tahun terakhir.
Pria yang akrab disapa Kupit ini bisa dikatakan terlibat dalam ForBALI sejak awal gerakan ini dimulai dari sedikit orang. Lalu seiring waktu menjadi sebuah gerakan besar dengan hasil seperti sekarang. “Pengalaman sama band banyak, sama seperti Superman Is Dead. Kita dari dulu di awal-awal, banyak konser yang diredam. Seperti beberapa konser kita nggak boleh nyanyi lagu Tolak Reklamasi. Sampai akhirnya sekarang, karena sudah terlalu banyak masyarakat yang menolak jadi susah untuk meredam seperti dulu,” tuturnya.
Kupit mengaku bersyukur ada gerakan Bali Tolak Reklamasi Teluk Benoa. Gerakan ini menjadi pembelajaran bagi dirinya secara pribadi untuk kritis terhadap kebijakan pemerintah. “Saya rasa semuanya belajar tentang ini, dan kedepannya gerakan ini mudah-mudahan berguna untuk masalah lain yang pasti terjadi lagi di Bali,” imbuhnya.
Wayan Sukada dari Tabanan mengatakan, gerakan tolak reklamasi di Tabanan juga tumbuh karena hati nurani. Baliho-baliho turut dipasang di bumi lumbung beras, bahkan tak luput dari incaran perobekan oknum tidak bertanggungjawab.
Saat ada konser SID di salah satu SMA, beberapa rekannya dilarang masuk dan diminta untuk melepas baju tolak reklamasi. Tapi hal itu, tidak sampai mengendorkan semangat untuk berjuang demi pelestarian alam, adat, dan budaya Bali. “Kita sangat berbahagia mendengarkan amdal tidak berlaku lagi. Kedepannya, mudah-mudahan Perpres 51 segera bisa dicabut oleh Presiden Joko Widodo,” harapnya. (Rindra Devita/balipost)