DENPASAR, BALIPOST.com – Desa wisata (Dewi) dipercaya mampu menjadi alat untuk pemerataan ekonomi. Namun belum semua masyarakat paham dengan pariwisata sehingga pengembangan Dewi tidak maksimal.
Saat ini pemerintah membentuk sedang gencar membangun Dewi. Untuk menjadi desa wisata, harus dikenali terlebih dahulu branding atau ikon desa tersebut.
Ketua Yayasan Desa Wisata Nusantara Mangku Kandia mengatakan, Bali telah mengembangkan pariwisata sejak 1914. Tapi masyarakat belum paham arti pariwisata sampai sekarang. “Karena pariwisata bukanlah hanya tamu datang lalu membeli patung atau produk asal Bali, lalu selesai. Itu pemikiran mereka. Persepsi mereka tidak sama,” Mangku Kandia berujar.
Tidak semua desa memiliki potesi yang bisa dikembangkan. Daya tarik atau ikon yang melekat pada suatu desa bisa berupa warisan yang harus dilestarikan dan ada yang dibuat.
Gubernur Bali Mangku Pastika mencanangkan 220 desa tahun ini menjadi Dewi. Tapi, Dewi tersebut tidak semuanya sukses berkembang. Seharusnya desa yang akan dijadikan Dewi memiliki keunikan dan brandingnya.
“Datang ke Desa Mas, branding atau ikonnya desa wood carving. Datang ke Ubud, yang menjadi branding adalah lukisan. Datang ke Desa Peliatan, ikonnya Legong,” sebutnya.
Sebenarnya budaya itu yang harus ditata dulu, baru datang turis. “Turis itu ya bonus. Jadi budayanya dulu yang dibangun. Budaya apa yang ada di desa itu,” jelas Ketua DPP HPI tahun 2001 -2011 itu.
Mindset masyarakat tentang pariwisata harus diubah. Masyarakat harus nerimo. Masyarakat belum semua paham tentang pariwisata. Inilah masalah yang dihadapi saat ini. “Itu perlu waktu panjang untuk menyadarkan masyarakat,” ungkap perintis Desa Wisata Mas ini. (Citta Maya/balipost)