DENPASAR, BALIPOST.com – Peraturan baru BPJS Kesehatan selama ini menimbulkan pro dan kontra di masyarakat. Yakni, Peraturan Direktur Jaminan Pelayanan Kesehatan 2018 BPJS Kesehatan No. 2, 3 dan 5. Hasil investigasi yang dilakukan Ombudsman RI Perwakilan Bali, publik rupanya masih bingung. Itu sebabnya, Ombudsman kemudian menginisiasi dialog publik menghadirkan BPJS Kesehatan, Dinas Kesehatan Provinsi Bali, dan Persi Bali di Denpasar, Rabu (5/9).
“Kita kemarin berinisiatif melakukan langkah investigasi di puskesmas, rumah sakit, dokter, maupun pengguna BPJS dan temuan kita sementara ini, artinya publik masih bingung terkait peraturan baru tersebut. Terutama rumah sakit karena klaim yang harus diminta kepada BPJS belum sepenuhnya dibayarkan,” ujar Kepala Ombudsman RI Perwakilan Bali, Umar Ibnu Alkhatab.
Menurut Umar, tunggakan ini menimbulkan dilema bagi rumah sakit untuk memberikan pelayanan kepada pasien BPJS. Dengan kata lain, problem pembiayaan ini masih sangat mengganggu pelaksanaan jaminan kesehatan nasional (JKN). Pihaknya akan segera merumuskan saran bagi BPJS lewat masukan-masukan yang muncul dari peserta dialog publik.
“Secara umum terkait dengan sosialisasi nanti akan menjadi saran kita. Kemudian terkait dengan pola pembiayaan di rumah sakit. Artinya, cepatlah membayar klaim di rumah sakit sehingga rumah sakit tidak mengalami kebangkrutan. Kalau sampai sekian bulan tidak dibayar, bagaimana operasional rumah sakit,” paparnya.
Saran lain, lanjut Umar, menyangkut pola rujukan agar lebih fleksibel. Dikatakan, negara semestinya hadir untuk memastikan seluruh masyarakat mendapatkan jaminan kesehatan yang komprehensif, adil, dan merata.
Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Bali, dr. I Ketut Suarjaya, MPPM sependapat bila peraturan baru BPJS Kesehatan belum disosialisasikan sebelum pemberlakuannya. Hal ini menimbulkan kesalahpahaman dalam pelayanan kesehatan pasien JKN. Komunikasi antara BPJS Kesehatan dan rumah sakit yang belum efektif akhirnya merugikan pasien JKN yang membutuhkan pelayanan kesehatan.
“Dinas Kesehatan berperan melakukan monev, menerima keluhan dan pengaduan dari peserta, provider, maupun BPJS Kesehatan, serta menyelesaikan sengketa yang dilakukan tim pertimbangan klinis provinsi Bali,” ujarnya.
Sementara itu dari BPJS Kesehatan, Asisten Deputi Monitoring Evaluasi Kedeputian Wilayah Bali, NTT, dan NTB, dr. Nyoman Wiwiek Yuliadewi membantah peraturan baru BPJS Kesehatan keluar dengan mendadak. Sosialisasi sudah cukup dilakukan sebelum peraturan diberlakukan per 21 Juli 2018. Terkait klaim, BPJS Kesehatan membayarkan ke rumah sakit dalam 15 hari kerja sejak klaim diterima lengkap dengan bukti berita acara.
“Kalau misalnya memang dalam range 15 hari kerja, tidak bisa dikatagorikan terlambat. Tetapi kalau memang lewat dari 15 hari kerja, pasti ada kendala di BPJS Kesehatan. Untuk mengatasinya, BPJS Kesehatan sudah bekerjasama dengan bank BUMN dimana bank dulu yang nalangin klaim dari rumah sakit sampai nanti BPJS membayarkan klaim tersebut,” ujarnya.
Menurut Wiwiek, Peraturan No.2, 3, dan 5 antaralain mengatur tentang hal-hal yang dijamin oleh BPJS Kesehatan. Sebagai contoh pelayanan katarak dalam Peraturan No.2, operasi kini dibatasi untuk penderita katarak dengan visus (lapang pandang penglihatan) kurang dari 6/18 atau fungsi penglihatannya sudah terganggu.
Kemudian dalam Peraturan No.3, penjaminan bayi baru lahir di rumah sakit kini dapat ditagihkan dalam paket persalinan ibu maupun secara terpisah. Klaim terpisah apabila bayi diberikan perawatan dengan sumber daya khusus berdasarkan standar pelayanan kepada bayi sesuai indikasi medis mengacu pada standar pelayanan kesehatan yang berlaku.
Untuk pelayanan rehabilitasi medik dalam Peraturan No.5, dijamin kalau ada spesialis rehab medisnya. “Tujuannya untuk memastikan mutu pelayanan yang diberikan kepada peserta JKN,” jelasnya.
Ketua Persatuan RS Indonesia (Persi) Bali, dr. I Gede Wiryana Patra Jaya, M.Kes menilai keseimbangan antara premi dan manfaat perlu dijaga. Disamping melakukan kendali mutu dan kendali biaya dalam kerangka tata kelola organisasi yang baik khususnya oleh rumah sakit dan BPJS Kesehatan. Monev berkala juga perlu dilakukan oleh tim, khususnya terkait penerapan regulasi agar implementasi JKN dan persoalan di lapangan dapat diselesaikan dengan baik. (rindra/balipost)