DENPASAR, BALIPOST.com – Rencana besar dari PT. BTID (Bali Turtle Island Development) menjadikan lahan reklamasi di Serangan sebagai resort wisata ternama, belum bisa berjalan mulus. Terlebih, sejak awal reklamasi tahun 1996, aktivitas pembangunan fisik di kawasan tersebut nyaris tidak ada. Janji yang disampaikan investor untuk membangun sarana pariwisata tak kunjung terealisasi. Warga pun mulai ragu.
Namun, sejak beberapa bulan lalu aktivitas di lahan seluas 379 hektar tersebut kembali berdenyut. PT BTID mulai menata Pantai 3 yang sebelumnya ditempati warga untuk
berjualan, kini sudah steril dari aktivitas pedagang. Pintu masuk ke kawasan BTID juga mulai ditutup untuk umum, kecuali warga Serangan.
Ini dilakukan dengan membuka satu pintu di bagian selatan. Setelah berhasil mengosongkan pedagang di Pantai 3, kini program BTID saat ini adalah membuka ujung kanal di Pantai Melasti (Utara). Kanal yang membelah kawasan Serangan yang dihuni warga dengan lahan yang direklamasi ini masih tertutup di ujung utaranya. Sedangkan ujung selatan sudah tembus ke pantai. Sayangnya, rencana ini mendapat penolakan dari nelayan setempat.
Ketua Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Cabang Denpasar yang merupakan warga Serangan, Nyoman Turut mengatakan, penolakan nelayan terhadap pembukaan kanal oleh BTID cukup beralasan. Karena selama ini nelayan menambatkan perahu-perahu mereka di pantai itu. “Nah, sekarang bila kanal dibuka, berarti akses nelayan untuk menambatkan perahu hilang. Lalu, dimana mereka nanti menaruh perahunya. Ini satu-satunya pantai yang masih tersisa,” ujar Turut, Kamis (6/9).
Dari pantauan Bali Post, lahan di ujung kanal tersebut dijadikan tempat parkir untuk bus-bus yang mengangkut wisatawan yang menyebrang ke Nusa Lembongan. Selain itu, juga banyak terlihat warga Serangan yang menjadi pedagang acung di tempat tersebut. “Warga kami di sini mencari makan. Ini berkat pengembangan potensi yang ada di desa kami. Bila ini dibuka, kemana warga kami ini mencari isi perutnya,” ujar tokoh setempat, Wayan Loka.
Di sisi lain General Manajer Island Manajement PT. BTID Made Sumantra, SH., mengatakan mandegnya kegiatan BTID di Serangan tidak terlepas dari kondisi ekonomi usai melakukan reklamasi pada 1997 lalu.
Setahun kemudian terjadi krisis ekonomi yang juga memberi pengaruh signifikan terhadap kelangsungan proyek besar ini. “Sejak beberapa tahun lalu, pihak BTID kembali melakukan aktivitasnya yang diawali dengan kelengkapan administrasi perizinan. Sekarang sudah semua ada,” ujar mantan Kasdam IX/Udayana ini.
Sumantra mengatakan, sebelumnya pihaknya sudah melakukan penataan di Pantai 3. Sebelum ditata, pihaknya memberikan lahan itu untuk warga setempat berjualan. Namun, sejalan dengan keperluan BTID, maka pedagang sudah mulai dibersihkan di lahan itu. Ini juga sesuai dengan Surat Perjanjian No 046/BTID-MOU/1998 tentang Pelestarian dan Pengembangan Pariwisata di Pulau Serangan. MoU ini ditandatangani per 14 Oktober 1998 lalu antara perwakilan PT BTID dengan perwakilan masyarakat. Pada Pasal 10 (peminjaman lahan) disebutkan, sementara proyek belum dalam dilaksanakan akibat sesuatu dan lain hal, maka pemanfaatan lahan tidur, pihak pertama (BTID) bisa meminjamkan kepada
pihak kedua sesuai dengan perjanjian yang ada. Sekarang akan berlanjut di ujung kanal. “Kanal itu sudah ada di program BTID sejak awal. Namun, karena sempat terdampak krisis, maka pembuatan kanal tersebut tidak tuntas. Sekarang akan kita lanjutkan,” katanya.
Pembuatan kanal ini juga sudah termuat dalam perjanjian itu. Misalnya saja, kata Sumantra, pada Pasal 7 dengan jelas disebutkan, pihak pertama akan mengerjakan pembuatan kanal wisata. Mengatur pemanfaatan serta pengelolaan kanal agar pihak pertama (PT BTID) menjadikan pihak kedua (warga) sebagai mitra kerja. Para pihak sepakat agar pemanfaatan kanal diprioritaskan bagi masyarakat nelayan yang merupakan penduduk Serangan dan diharapkan dapat meningkatkan penghasilan nelayan.
Dijelaskan Sumantra, kanal ini akan berfungsi sebagai sarana penunjang resort-resort yang ada di Serangan. Wisatawan akan turun di ujung selatan, kemudian menyusuri kanal ke utara yang di sisi sampingnya akan dipajang beberapa sarana pendukung. Di sebelahnya (kiri) juga
akan terlihat aktivitas masyarakat secara langsung. “Inilah yang menjadi program jangka pajang kita. Sekarang mari kita tata dulu, infrastrukturnya supaya lengkap. Setelah itu baru bisa kita jual kepada wisatawan. Bila ini sudah jalan, semua akan terdampak,” ujarnya.
Seperti diketahui, Pulau Serangan yang terkenal dengan potensi rumput laut dan ikan hiasnya, kini telah berubah. Terutama ketika PT.BTID melakukan reklamasi secara besar-besaran di wilayah yang terkenal dengan sebutan Pulau Penyu tersebut. Proyek reklamasi yang mencapai tiga kali lipat luas Pulau Serangan ini, merupakan rencana BTID untuk membangun kawasan wisata di lokasi itu.
Reklamasi yang dilaksanakan PT BTID di Pulau Serangan, telah merubah sejumlah tatanan masyarakat setempat. Banyak perubahan yang telah terjadi, baik positif dan juga negatif menimpa warga pulau Penyu itu. Mulai terbukanya akses jalan menuju pulau seluas 112 Ha itu sampai bertambahnya luas pulau itu yang mencapai empat kali luas sebelumnya. Kini, luas Pulau Serangan telah mencapai 491 Ha, artinya luas pantai yang direklamasi mencapai 379 Ha. Reklamasi ini terjadi di pantai sebalah timur, barat daya dan barat laut pulau ini.
Sebelumnya, salah seorang warga Serangan, I Ketut Arya Saputra,S.T. mengakui banyak dampak yang terjadi setelah reklamasi wilayah desanya itu. Dampak negatifnya, kata dia, hilangnya lahan mata pencaharian para nelayan kecil yang sebelumnya mengais rezeki di Pantai Serangan.
Namun, setelah reklamasi, para nelayan kecil ini tidak lagi bisa memperoleh ikan di dekat wilayahnya. Mereka harus rela masuk ke dalam laut untuk mendapatkan ikan.
Terlepas dari dampak negatifnya, manfaat yang dinikmati warga setempat juga cukup banyak. Dengan terbukanya akses jalan menuju wilayah yang sebelumnya terisolasi dari laju kendaraan itu, kini sudah bisa dengan leluasa memarkir kendaraannya di halaman rumah. ‘’Nilai hasil tangkapan ikan bagi warga Serangan juga ikut naik. Dulu harga hasil
tangkapan dibayar cukup murah, karena sulitnya sarana transportasi,’’
katanya. (asmara/balipost)