JAKARTA, BALIPOST.com – Nilai tukar rupiah tembus di atas Rp 15.000 per dollar Amerika Serikat (AS). Memburuknya nilai tukar rupiah terhadap dollar tersebut disebabkan lemahnya fundamental perekonomian Indonesia.
Menurut anggota Komisi XI DPR, Eva Kusuma Sundari, bangsa Indonesia masih menjadi negara konsumen terbesar di dunia. “Indonesia yang sejak dulu kita kenal sebagai negara agraria, tetapi justru menjadi negara terbesar dalam impor komoditas agrarianya,” katanya dalam diskusi dielaktika demokrasi di Gedung DPR, Jakarta, Kamis (6/9).
Dari kondisi riil di atas, Eva mengatakan hal itu bisa menjadi ukuran rentannya stabilitas rupiah terhadap dollar karena memang produk impor selalu menggunakan dollar sebagai alat utama nilai transaksinya. Politisi PDI Perjuangan ini mengungkapkan mental sebagai bangsa konsumen merupakan hasil provokasi negara-negara liberal dengan IMF nya.
Dulu, kata Eva, IMF selalu menggaungkan nada provokasi “buat apa menanam produk pertanian sendiri, kalau ternyata harga pangan impor jauh lebih murah”. Di bidang lain seperti sumbar daya alam dan energi juga demikian.
Bangsa asing telah berhasil menjadikan mental bangsa Indonesia menjadi bangsa yang minim inovasi. Akibatnya, ekspor barang-barang mentah di bidang SDA dan energi selalu barang mentah. “Karena itu, jangan heran negara asing selalu minta ekspor barang mentah. Karena dengan barang mentah, yang dalam kontraknya hanya emas, padahal kalau diolah lagi bisa menjadi bermacam-macam. Ya..ada nikelnya, ada uraniumnya. Jadi negara asing dapat nilai ekspor banyak dengan nilai kontrak murah. Kondisi inilah yang ingin diubah oleh Presiden Jokowi,” ujarnya.
Oleh karena itu, ia menekankan selama bangsa Indonesia masih bermental konsumen dan mengandalkan impor dalam penggunaan produk kesehariannya, maka selama itu pula nilai rupiah akan dengan mudah dipermainkan oleh negara-negara asing.
Anggota Komisi XI lainnya dari Fraksi Partai Gerindra Heri Gunawan menyarankan untuk solusi jangka pendek, pemerintah perlu mempertimbangkan memotong anggaran belanja negara. Pemotongan harus diikuti dengan skala priortas terpenting yang bisa menggunakan APBN. “Menurut hemat kami dari beberapa kebijakannya, pemerintah harus memotong anggaran belanja secara signifikan buat menentukan skala prioritas,” kata Heri.
Dari daftar rencana belanja yang sudah didata, harus mengutamakan kegiatan untuk sebesar-besarnya kepentingan masyarakat banyak. “Sesuaikan belanja secara lebih tepat sasaran,” lanjut Heri.
Heri juga mengatakan bahwa pemerintah harus memperkuat dasar-dasar ekonomi bangsa ini. Sebesar apapun gonjang-ganjing nilai tukar rupiah tidak akan berpengaruh besar jika dasar ekonomi kuat. “Saya berpikir kembali ke fundamental ekonomi kita, kalau kuat rasanya ini tidak perlu dikawatirkan, sayangnya fundamental kita belum kuat, dan ini sering ditutup tutupi. Nampaknya ada sesuatu yang untuk dibuka. Seperti defisit anggaran kita,” kata Heri. (Hardianto/balipost)