SINGARAJA, BALIPOST.com – Organisasi petani dan komunitas dari beberapa daerah di Indonesia mengeluarkan pernyataan sikap “melawan” digelarnya Asia Pacific Conference On Tobacco Or Health (APACT) ke 12 Tahun 2018. Komunitas ini beralasan, agenda yang dibahas dalam APACT di Nusa Dua itu akan mematikan Industri Hasil Tembakau (IHT) di Tanah Air.
Beberapa organsiasi masyarakat itu seperti Komunitas Kretek, Komite Nasional Pelestarian Kretek, Asosiasi Petani Cengkeh Indonesia (APCI), dan Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI). Gerakan penolakan itu dikemas dalam konferensi dan peluncuran Policy Paper “Pentingnya Industri Hasil Tembakau (IHT) Dalam Mewujudkan Nawa Cita dan SDG’s.”
Kegiatan ini dipusatkan di Desa Munduk, Kecamatan Banjar dengan menghadirkan Kepala Dinas Pertanian (Distan) Buleleng Nyoman Genep.
Ketua Komunitas Kretek, Aditia Purnomo mengatakan, gerakan menolak APACT Tahun 2018 ini sudah dilakukan dengan masif melibatkan asosiasi petani komunitas, dan penggiat media sosial. Alasannya, agenda besar yang dibahas dalam konferensi tersebut akan mematikan IHT di tanah air.
Ini terlihat dari rencana kebijakan pemerintah pusat untuk mendiversifikasi tanaman. Kebijakan itu akan menghilangkan pemanfaatan komoditas cengkeh dalam produksi rokok kretek di tanah air.
Cengkeh di Indonesia selama ini diserap untuk bahan rokok kretek antara 3 sampai 96 persen. Kalau nantinya serapan yang begitu besar itu dihentikan, akan menimbulkan kerugian besar bagi petani karena produksi cengkeh tidak akan laku di pasaran.
Demikian juga wacana dampak budidaya tembakau yang selama ini diwacanakan sebagai penghalang pencapaian SDG’s dikhawatirkan akan mematikan budidaya tembakau. Sejak dulu budidaya tembakau dikenal sebagai kultur budaya pertanian yang sepenuhnya dilakukan rakyat. “APACT ini sudah jelas agendanya adalah kebijakan diversifikasi yang mengganti tembakau dengan tanaman lain. Faktanya tembakau memberi manfaat besar bagi petani dan usaha tani. Cengkeh juga begitu. Menopang produksi kretek di tanah air dan kalau ini digantikan tentu dampaknya adalah mematikan budidaya tembakau dan cengkeh,” katanya.
Ketua APTI Pusat Suseno mengatakan, budidaya tembakau dan cengkeh sudah menjadi kultur pertanian di Indonesia. Budidaya ini tidak sama dengan di negara lain di dunia. Budidaya ini justru dilakukan oleh petani dan bukan perusahaan, seperti di luar negeri.
Senada diungkapkan Kepala Dinas Pertanian (Distan) Buleleng Nyoman Genep. Dirinya sendiri juga khawatir kalau kebijakan pemerintah mengganti tembakau atau cengkeh untuk industri rokok. Selama ini budidaya tembakau di daerahnya sudah mulai mengalami fluktuasi akibat faktor cuaca dan mahalnya operasional, terutama bahan bakar kompor untuk pengering daun tembakau.
Sedangkan, cengkeh sampai tahun ini tercatat luasnya lebih dari 7.000 hektare. Produksinya juga mengalami fluktuasi karena pengaruh cuaca. Di tengah situasi ini, kalau ada kebijakan untuk mengganti seperti akan dibahas dalam APACT, Genep khawatir petani di Bali Utara tak akan bertahan. (Mudiarta/balipost)