Suasana seminar SPN dengan tema Reformasi Ritual Upacara dan Upakara Ngaben. (BP/asa)

 

DENPASAR, BALIPOST.com – “Pattram puspam phalam toyan yo me bhaktya pruyacchati tod ahom bhaktyaupahritom Asnami prayatatmanah,” sloka bhagawad gita IX.26, tersebut pada intinya menyebutkan bahwa siapa saja yang sujud di hadapan Ku dengan persembahan sehelai daun, sekuntum bunga, sebiji buah-buahan, seteguk air, Aku terima sebagai bakti persembahan dari orang yang berhati suci.

Hal tersebut mengemuka manakala tiga sulinggih memberikan pencerahan atas yadnya untuk umat Hindu yang sebagian besar mengatakan masih mahal secara ekonomis. Mengatasi fenomena atau hal negatif yang disebut biaya Hindu mahal, Pinandita Sanggrana Nusantara (PSN) Korda Denpasar, dengan melibatkan tiga sulinggih menggali akar masalah dan memberi solusinya agar tidak ada kesan soal dilema ngaben suatu tradisi yang memberatkan umat.
Karena dalam sastra Hindu tidak disebutkan bahwa upakara pengabenan itu dengan biaya yang besar dan mahal. PSN pun menyelenggaran seminar Reformasi Ritual Upacara dan Upakara Ngaben di Gedung Santi Graha Denpasar, Minggu (16/9).

Baca juga:  Maman Mahayana : Ny. Putri Koster Pembaca Puisi Terbaik di Indonesia

Hadir sebagai pembicara adalah Ida Pandita Mpu Jaya Acharyananda, Ida Pedanda Gede Buruan Manuaba dan Ida Rsi Bhujangga Waisnawa Putra Sara Satya Jyoti. Dalam seminar yang dibuka Sekda Kota Denpasar, AAN Rai Iswara dan didampingi Wakil Anggota Dewan Wayan Mariyana Wandhira, tersebut begitu mengemuka soal susahnya mati di daerah Bali. Ibarat, lahir dan mati harus punya biaya tinggi. Benarkah?

Dalam seminar reformasi upakara dan upacara ngaben itu dibantahkan semua oleh para sulinggih. Para sulinggih, pemangku, bandesa adat harus kompak dan melaksanakan upacara sesuai sastra dan tatwaning ngaben. Disebut oleh Ida Rsi Bhujangga Waisnawa Putra Sara Satya Jyoti, bahwa inti dari upakara pitra yadnya untuk pengabenan adalah nasi angkeb, bubur pirata, angenan, pangruyagan, pisang jati, panjang ilang, dyus kamaligi pengadang-adang dan tirtha pangentas.

Walaupun upacara pengabenan itu kecil atau sederhana maupun upacara tersebut besar dan megah maka upakara inti ini mesti ada. Sehingga orang yang akan melakukan upacara pengabenan baik orang miskin, lebih-lebih orang kaya, maka orang tersebut akan dapat melaksanakan upacara tersebut. Tinggal menyesuaikan dengan kemampuan saja, asal inti banten itu sudah dipenuhi. Karena sesungguhunya ayaban memiliki upacara tersebut. Perlu diketahui bahwa ayaban (pras penganbian, udel kurenan, pulo gembal, bebangkit) tersebut ayaban pengiring, dapat dipilih sesuai dengan kemampuan financial.

Baca juga:  Kasus DBD di Bali Tak Ikuti Siklus Lima Tahunan

Ketua PSN Denpasar, Putu Gede Suranata, mengatakan seminar reformasi ini untuk mencerahkan masyarakat, untuk bisa mengerti makna upacara ngaben sesuai dengan sastra dan tatwanya. “Dengan seminar ini diharapkan dapat menjawab bahwa image bahwa upacara ngaben itu mahal atau ngabehin itu hilang. Karena sejak dulu bahwa tingkatan ngaben itu ada sembilan mulai dari nistaning nista sampai utamaning utama,” jelas pandita Suranata.

Karena dimelenium ini berkembang komersial, bahkan berat dan mahal itu bisa dijawab dengan sesidan-sidan dan lascarya. Sehingga seminar ini diharapkan mampu mencerahkan bahwa upacara ngaben tak mesti menjalankan ego, namun harus sesuai sastra dan tatwa yang harus patut dan puput.

Baca juga:  Turun Drastis, Kasus DBD di Bangli Capai 292

Sementara Ketua Panitia, Pinandita Wayan Dodi Arianta, mengatakan bahwa pemikiran seminar itu karena adanya viral di medsos bahwa patut namun tidak puput. Perkembangannya liar sehingga diadakan seminar tenteng ngaben. Reformasi ritual ngaben ini diambil dari buku Ida Rsi Bhujangga Waisnawa Putra Sara Satya Jyoti.  “Reformasi itu meluruskan bahwa ngaben dikembalikan pada sastra dan tatwa yang ada. Saat ini ngaben disebut memberatkan umat dan praktis. Padahal sesuai tatwa jelas tingkatannya. Tidak mesti memberati warga,” tegasnya.

Atas dasar itu, tiga sulinggih membahas persoalan ini dan memberi solusinya. Ida Pandita Mpu Jaya Acharyananda bahkan membahas susahnya mati di tanah Bali, dan kremasi sebagai salah satu solusi. Ida Pedanda Gede Buruan Manuaba mengulas tatwaning ngaben dan Ida Rsi Bhujangga Waisnawa Putra Sara Satya Jyoti membahas dilema ngaben, meluruskan tradisi yang memberatkan umat. (miasa/balipost)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *