DENPASAR, BALIPOST.com – Fenomena mengusung atau mengarak bade atau wadah dengan menggunakan alat bantu pedati, roda kendaraan hingga dinaikkan dalam kendaraan akhir-akhir ini menjadi perbincangan hangat umat Hindu di Bali. Sebab, boleh tidaknya hal itu dilakukan dalam prosesi upacara pengabenan (pitra yadnya) tidak terdapat dalam sastra agama. Sehingga, pro dan kontra apakah perlu dibuatkan pararem tentang boleh tidaknya menggunakan kendaraan saat mengusung bade masih menjadi kontradiktif di tengah perkembangan umat Hindu di Bali.
Sebelumnya, Ketua PHDI Bali, Prof. Dr. ngurah Sudiana, M.Si., mendorong Majelis Desa Pakraman (MDP) membuat pararem tentang hal tersebut. Sementara, menurut beberapa sulinggih pararem tentang mengusung bade tidak perlu dibuatkan pararem.
Ida Pandita Nabe Sri Bhagawan Agni Yogananda, berpendapat mengusung bade menggunakan kendaraan tidak menjadi masalah, karena hal itu hanyalah kreasi dalam upacara.
Menurutnya, upacara ngaben bertujuan untuk menyucikan stula sarira agar kembali ke Panca Maha Bhuta melalui doa-doa dan persembahan sederhana ke sang roh dalam perjalanan menuju pitraloka. Apalagi, jarak banjar dengan setra yang jauh memungkinkan inovasi tersebut digunakan untuk membantu efisiensi tenaga manusia dalam melakukan kegiatan upacara yadnya tersebut. “Itu esensinya sama, mungkin yang beda hanya kreasinya. Jadi biar berjalan alamiah saja tanpa harus dibuatkan pararem,”tandas Ida Pandita Nabe Sri Bhagawan Agni Yogananda, Selasa (18/9).
Hal senada juga dikatakan oleh Ida Pandita Mpu Siwa Budha Dhaksa Dharmita. Menurut Sulinggih dari Griya Agung Sukawati, Gianyar ini teknologi diciptakan untuk membantu aktivitas manusia dalam ranah apapun, termasuk dalam upacara yadnya. Apalagi, pemanfaatan teknologi dalam membantu pelaksaan kegiatan upacara ritual telah dilakukan sebelumnya, seperti saat upacara melasti yang menggunakan kendaaran untuk mengangkut pratima.
“Tidak masalah bade pakai mobil. Ini ide bagus, bukan salah, tujuannya hanya mengantarkan jenasah ke tempat pembakaran. Justru ini yang baik ke depan, paling tidak bisa mereda konflik di masyarakat di zaman ‘menyendiri’ ini,”ujarnya.
Apalagi, ia yakin bahwa masyarakat di desa-desa di Bali masih banyak yang mengusung jenasah kerabat dekatnya, karena cinta bakti pelayanan terakhir kepada orang terkasih atau orang tuanya. Disamping juga sebagai wujud gotong royong sebagai konsep menyama braya di Bali. “Jadi itu tidak salah sama sekali, karena tidak terkait dengan prosesi ngaben yang merupakan pengembalian unsur-unsur Panca Maha Bhuta ke asalnya,”pungkasnya. (winata/balipost)