Guru sedang mengajar di kelas. (BP/dok)

Oleh Dr. I Wayan Artika, S.Pd., M.Hum

Pada periode panjang negeri ini, guru terpuruk karena identik dengan pekerjaan untuk orang miskin. Lewat sosok guru Omar Bakrie yang menjadi tokoh lagu berjudul sama, Iwan Fals menyenandungkan balada tentang hidup pahit guru. Negara pun menghibur para guru di Indonesia lewat Himne Guru, seolah ingin mengkompensasi kemiskinan itu dengan predikat “Pahlawan tanpa Tanda Jasa”.

Namun, negeri ini tidak pernah kekurangan guru. Dulu sekolah guru setara SMA selalu penuh terisi siswa calon guru SD. Pun fakultas keguruan dan perguruan tinggi kependidikan tidak pernah kekurangan mahasiswa. Jangan-jangan, guru itu bukan profesi yang bisa dilatih namun selebihnya adalah bawaan lahir. Maka sepanjang peradaban suatu bangsa selalu lahir para guru dalam kehidupan ini.

Sepahit apa pun Iwan Fals menyanyikan baladanya dan sesedih apa pun rasanya saat menyanyikan Himne Guru, tetapi guru-guru sejati tetap lahir dan mengabdi bagi murid-muridnya. Guru sejati memang tidak banyak. Di sebuah SMP di Temanggung, Ibu Siti Fauzanah atau akrab disapa Bu Yan seorang guru dengan kegigihan dan puncak pengabdian satu-satunya dalam hidupnya, mengajarkan matematika hingga banyak siswanya di antarnya ke ajang olimpiade internasional dan memasuki gerbang almamater universitas beken di Indonesia, sampai meraih jenjang pendidikan doktor.

Ibarat seorang rahib, ia menjalani hari-hari di sekolahnya di tengah “sunyi” sosial karena dia seperti tidak mau tahu gunjingan-gunjingan rekan guru yang sesungguhnya tidak menjadi guru secara total. Semua tindakannya bersumbu pada kedalaman jiwa untuk mengajarkan matematika kepada para siswanya, sebagai jalan hidup masa depan yang diretasnya. Hingga masa pensiun pun, Bu Yan tetap mengajar di Puskesmas Matematika yang dirintisnya.

Baca juga:  SDN 1 Blimbingsari Hanya Peroleh Dua Siswa

Di Tabanan, sastrawan modre I Gusti Putu Bawa Samargantang adalah seorang guru sejati dengan kesetiaan yang tidak ada tandingannya berjalan di atas sepeda jengki meretas jarak dan jalanan kota, menempa budi para remaja melalui sastra dan teater. Semua yang dikerjakannya dalam bidang yang dicintainya adalah bagian terbesar dari laku hidupnya dan laku ini dijalankan sampai ia berjumpa dengan para murid dalam kehidupan. Sungguh berkah bagi para murid yang pernah berguru padanya.

Entah karena apa, sedikit ironis memang, guru sejati Bawa Samar Gantang menjalani dunia sunyi di ruang guru, teras sekolah, dan ruang kelas yang gempita. Terlalu sedikit siswa atau rekan guru yang bisa menemukan dan menangkup kesejatian dirinya. Pun karena ia tidak ingin jemawa dan karena tuah kebijakan padi atau kerendahan hati, kesejatian seorang guru tetap bergolak dalam jiwanya.

Kesejatian diri seorang guru I Putu Sudibawa, dari SMA 1 Sidemen, Karangasem adalah ketika ia menjawab tantangan besar bahwa mata pelajaran kimia itu sangat sulit. Ia menjawab tantangan itu dengan menyulap pelajaran kimia di tangannya menjadi mudah, menyenangkan, dan disukai siswa.

I Putu Sudibawa mendekonstruksi satu pandangan yang keliru dan menghambat siswa sampai ia berhasil mengajarkan pelajaran kimia dengan mudah, bahkan pada sekolah di desa yang sudah tentu tanpa fasilitas laboratorium. Umumnya guru suka berkilah dan menyalahkan kemiskinan, kebodohan siswa, dan keserbatiadaan sarana pendukung dan dibumbui lagi dengan keangkuhan bahwa mata pelajaran kimia ini sangat sulit, dijadikan legitimasi untuk tidak bertindak.

Baca juga:  Pembangunan Bali dan Era Revolusi Industri 4.0

Tapi bagi seorang guru sejati, ia terlebih dahulu, sebelum mulai mengajar, mengenali lingkungan dan para murid. Maka dengan demikian, pelajaran dan usaha seorang guru sejati dalam bekerja, jauh mendahului perjumpaan formal di ruang kelas dengan kegiatan belajar serbasemu.

Selebihnya, kesejatian I Putu Sudibawa adalah ketekunan belajar melalui penelitian yang dilakukannya, menjadikan dirinya hadir sebagai guru yang tidak lagi menjadi talang air atau media penyampai pesan dari buku pelajaran yang buruk kepada siswa yang tidak bergairah. Laku inilah yang tidak ada pada umumnya guru yang riwayat belajarnya sudah tamat ketika mengajar secara formal di kelas.

Maka guru sejati adalah seperti yang ditulis oleh Khalil Gibran: “dia memulai mengajar dirinya sendiri, sebelum mengajar orang lain.” Guru sejati adalah guru yang “mengajar dengan teladan” dan bukan “mengajar dengan kata-kata”.

Guru sejati mengajar dirinya yang sama artinya dengan selalu belajar dan membangun dialog reflektif, kritis, dan ilmiah dalam dirinya untuk mereduksi peran subjek belajar menjadi co-subjek bersama siswa di kelasnya. Dengan inilah seorang guru sejati berjalan atau bekerja di atas kearifan dengan prinsip pengasuhan yang tulus kepada sekalian siswanya. Mengajar diri adalah membalik peran dari guru subjek menjadi diri objek yang sama sekali akan menyudahi kegiatan mengajar formal menjadi panggung pertunjukan kuasa subjek.

Hal yang paling lumrah yang terjadi pada guru adalah “mengajar dengan kata-kata” dan sedikit guru sejati seperti beberapa nama yang dikisahkan dalam esai ini, adalah mereka yang “mengajar dengan teladan”. Mengajar dengan kata-kata memang konsep yang keliru namun menjadi hal istimewa pada guru. Sudah pada ghalibnya guru berkata, “silakan ambil sampah itu” kepada siswanya dan siswanya karena dibentuk oleh kebudayaan pendidikan “mengajar dengan kata-kata” yang sesungguhnya pemaksaan atau tekanan, mereka mau bertindak. Sebaliknya, mengajar dengan teladan. Guru memungut sendiri sampah tanpa beban dan selain hanya ia sadar bahwa sampah itu tidak boleh berserakan di luar tong.

Baca juga:  Marak Peristiwa Aneh Sasar Siswa, Satuan Pendidikan Diminta Perketat Keamanan

Puisi Khalil Gibran yang dikutip di sini menegaskan bahwa harga seorang guru adalah kemuliaan dan kehormatan. Inilah konsekuensi dari laku hidup para guru sejati, yang tidak pernah mereka harapkan. Menjalani kesejatian sebagai guru dan bukan semata guru pofesional administrasi berkompetensi, memosisikan diri mereka pada pemaknaan diri dan kepuasan jiwa telah melakukan perbuatan mengajar yang berangkat dalam kesadaran terdalam, mengajar diri sendiri dan mengajar dengan teladan.

Ketika terjadi regulasi besar pada dunia guru, maka prestise guru melambung dan tiba-tiba balada Omar Bakri atau himne penuh puji Himne Guru telah menjadi masa lalu. Para guru yang bekerja di sekolah adalah para profesional, guru menjadi bagian gaya hidup, sepertinya telah lahir kelas eksekutif muda di sektor pendidikan.

Namun, dengan keyakinan bahwa guru sejati tetap akan ada walau jumlah mereka tidak banyak, maka pada merekalah murid-murid akan menyusu, mengisap kesejatian jiwa seorang guru.

Penulis, dosen Universitas Pendidikan Ganesha, Singaraja

 

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *