Verifikasi
Ilustrasi. (BP/dok)

Oleh GPB Suka Arjawa

Komisi Pemilihan Umum merencanakan akan mengumumkan calon anggota legislatif yang Mempunyai latar narapidana korupsi. Ini sebagai tindak lanjut dibolehkannya mantan narapidana korupsi untuk mengikuti pemilihan umum anggota lgislatif pada tahun 2019.

Pemilihan umum serempak dengan pemilihan presiden itu akan dilangsungkan bulan April. Relatif dekat apabila dikaitkan dengan upaya-upaya sosialisasi dari partai politik. Setelah Mahkamah Agung “meluluskan” mantan narapidana korupsi untuk ikut pemilu, maka tidak bisa lain masyarakat Indonesia harus menaatinya termasuk juga lembaga-lembaga yang ada.

Indonesia dan masyarakatnya harus tunduk pada hukum. Meskipun secara sosial dan etika keputusan tersebut menyesakkan dan bertentangan dengan nilai-nilai moral yang ada, akan tetapi ketentuan perundang-undangan telah membolehkan hal itu. Jika ingin dikomentari lagi, pertimbangan sosiologis dan nilai saat membentuk undang-undang itulah yang masih belum maksimal pertimbangannya sehingga menghasilkan keputusan menyesakkan seperti sekarang.

Manusia yang terkena penjara memang bisa akan tersadar dengan kesalahnnya dan akan membuat dirinya lebih baik. Tetapi ada juga yang justru kembali menjadi penjahat yang lebih hebat karena mengetahui seluk-beluk penjara. Dalam konteks koruptor yang dibolehkan untuk mengikuti pemilihan umum, solusi yangditawarkan adalah dengan memberikan penyadaran kepada partai politik untuk memilih calon anggota legislatifnya yang benar-benar bersih dari korupsi. Sebagian partai politik telah menyatakan kesediannya tetapi sebagian masih tetap berperilaku seperti sebelumnya dan membolehkan calon anggota legislative yang mantan narapidana korupsi. Tentu saja hal ini tetap mengecewakan masyarakat karena janji reformasi adalah untuk membersihkan negara dari korupsi.

Baca juga:  Awasi Penggunaan Pemilu, KPU Terapkan Aplikasi e- SPIP

Maka, dengan konteks seperti yang disebutkan diatas, keinginan Komisi Pemilihan Umum untuk mengumumkan latar belakang koruptor dan hukuman yang didapatkan oleh calon anggota legislatif, merupakan salah satu cara untuk menggenapi himbauan partai politik agar memilih calon anggota legislative yang bersih. Pilihan yang dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum ini tidak menyalahi undang-undang dan juga tidak menyalahi aturan sosial. Ada beberapa manfaat positif yang didapatkan dari cara seperti ini, dan justru sangat diperlukan di dalam iklim demokrasi.

Kalau boleh dikatakan bahwa dengan hukuman bahkan ketentuan hukumpun sudah tidak mampu mengatasi masalah korupsi di Indonesia, maka cara yang dilakukan adalah dengan memberikan penyadaran secara sosial, dan membiarkan masyarakat untuk menilainya, untuk selanjutnya menjatuhkan hukuman sosial kepada mereka. Hukuman sosial memang kejam tetapi sekaligus juga dapat lembut. Hukuman sosial yang kejam itu dapat saja dicontohkan pada kasus kesepekang di desa atau banjar pakraman. Akan tetapi, hukuman sosial pada bidang politik, tidaklah sampai pada kesepekang tersebut. Ini hukuman lembut dan mampu menyadarkan para politisi.

Boleh dikatakan, cara ini merupakan metode terakhir untuk menyadarkan para politisi di tengah kontroversialnya sikap dan sifat mereka. Komisi Pemilihan Umum mendapatkan legitimasinya pada titik ini ketika akan mengumumkan track record dan latar kehidpan dari para anggota legislatif tersebut. Yang harus dipertimbangkan sejak sekarang adalah bagaimana agar sosialisasi pengumuman track record ini benar-benar diketahui oleh masyarakat secara luas. Artinya kalaupun salah satu metodenya diumumkan di tempat pemungutan suara, masyarakat agar tahu menelusuri dan mengetahui lokasi di tempelnya pengumuman tersebut. Jelas masyarakat tidak seluruhnya membaca koran, memakai media sosial atau menonton televisi hanya untuk mengetahui latar belakang dari politisi yang pernah ditahan karena korupsi tersebut. Tetapi paling tidak menjelang pencoblosan, masyarakat mesti mengetahui orang-orang yang mempunyai pengalaman masa lalu yang miring tersebut.

Baca juga:  Debat Capres-Cawapres Terakhir di Kantor KPU

Jelas juga metode penempelan kurang efektif karena hanya berlangsung sesaat sebelum pencoblosan. Di sini metode lain dapat dipakai sebagai penunjang, seperti yang disebutkan diatas yaitu dengan mengumumkan di koran serta media massa lainnya. Penempelan di dinding di tempat pemungutan suara akan mempunyai nilai meyakinkaan pemilih terhadap sosok koruptor yang ikut dalam pemilihan umum legislative tersebut. Masyarakat akan melakukan pendidikannya secara mandiri, memberikan penyadaran kepada dirinya sendiri dan melakukan cek-ricek dengan sesama anggota masyarakat lain. Interaksi seperti ini benar-benar akan memberikan penyadaran kepada masyarakat untuk menjatuhkan pilihan sebagai sebuah keputusan paling akhir.

Pengumuman di media massa, termasuk di media sosial apabila itu memungkinkan, mempunyai potensi kontroversial. Misalnya dengan melakukan bantahan atau upaya membela diri bagi mereka yang diumumkan itu. Tetapi upaya pembelaan diri ini wajar dan manusiawi dan memenuhi asas keadilan. Tetapi masyarakat akan mempunyai kesempatan untuk melakukan penilaian terhadap kandidat yang bersangkutan. Mekamisme “hukuman” sosial akan lebih adil apabila memenuhi kreiteria seperti ini. Secara hukum yang bersangkutan memang telah ada bukti penah mendapatkan hukuman. Tetapi demi mendapatkan kualitas anggota legislatif yang lebih baik, diperlukan penekanan pengumuman ini. Dan setiap orang boleh membela diri. Sekali lagi, proses ini akan mampu meningkatkan kemampuan masyarakat untuk menilai sekaligus menjatuhkan pilihannya.

Baca juga:  Karena Ini, Pecatan Anggota TNI Ditangkap

Dengan demikian, Komisi Pemilihan Umum tidak perlu ragu-ragu untuk mengumumkan status mantan tahanan pada calon anggota legislatif saat pencoblosan tanggal 17 April 2019 mendatang. Ini merupakan tanggung jawab sosial bagi Komisi Pemilihan Umum demi mendapatkan kualitas yang lebih baik terhadap anggota legislative kelak. Harap juga dipertimbangkan bahwa ketentuan dibolehkannya mantan koruptor mencalonkan diri tersebut mempunyai spektrum luas. Mereka ini tidak saja kemungkinan terpilih di daerah kabupaten, tetapi juga di Provinsi, dan di pusat. Kemungkinan juga mereka-mereka itu adalah orang-orang yang berduit dan mempunyai “lengan” besar-besar. Mungkin juga moralnya masih bejat sehingga akan mampu menyebarkan pengaruh. Kita harus mempunyai banyak metode sosial untuk menahan mereka-mereka yang kualitasnya buruk itu agar tidak sampai jadi anggota legislative. Jika mungkin, penjudi juga disaring agar tidak menjadi anggota legislative.

Penulis, Staf Pengajar Sosiologi FISIP Universitas Udayana

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *