IHSG
Ilustrasi. (BP/dok)

Oleh Ketut Sugiartha

Menurunnya daya beli masyarakat Bali belakangan ini merupakan bukti nyata, bahwa perekonomian Bali belum stabil. Hal ini terungkap dalam Seminar “Menjadi Pengusaha Milenial Berskala Nasional”, seperti dilansir Bali Post (10/9). Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Bali A.A. Ngurah Alit Wiraputra menegaskan, saat ini rasio wirausahawan Bali baru tujuh persen dari jumlah penduduk. Mestinya paling tidak 15% jika ingin kondisi ekonomi Bali stabil.

Mengapa warga Bali tidak banyak yang tertarik berwirausaha? Jika ditelusuri barangkali kondisi lingkungan yang tidak kondusif, minimnya pengetahuan tentang wirausaha dan ketiadaan modal bisa dijadikan hipotesis.

Bagaimanapun kondisi lingkungan merupakan faktor yang cukup berpengaruh bagi seseorang untuk memilih profesi sebagai sandaran hidup. Mulai dari lingkungan terkecil bernama keluarga, di mana seseorang biasanya cenderung menjadi duplikat orangtuanya, sebagai akibat dari pola pikir yang terbentuk sedemikian rupa di tengah keluarga.

Jika orangtua berprofesi sebagai dokter, maka anaknya akan diarahkan untuk menekuni pekerjaan yang sama kelak. Begitu pula kalau orangtuanya seorang polisi, maka sangat besar kemungkinan anaknya akan menjadi polisi juga. Hal ini tampaknya tidak lepas dari persepsi negatif di mana wirausaha cenderung dianggap sebagai sesuatu yang tidak mudah dilakukan dan riskan pula.

Minimnya pengetahuan yang berkaitan dengan seluk-beluk wirausaha juga menjadi hambatan yang tidak boleh dipandang sebelah mata. Jika lingkungan tidak memberi pengaruh untuk memilih wirausaha, bagaimana seseorang akan tertarik menimba pengetahuannya? Orang yang berwirausaha secara turun-temurun saja banyak yang tidak memiliki pengetahuan memadai. Akibatnya, jika sudah jenuh dengan pengalaman jatuh bangun orang tersebut biasanya akan memilih gulung tikar dan beralih menekuni bidang lain.

Baca juga:  Wartawan Menjadi Wirausaha, Kenapa Tidak?

Yang paling banyak dijadikan alasan mengapa banyak orang enggan terjun ke wirausaha adalah ketiadaan modal. Modal yang dimaksudkan di sini adalah modal uang, padahal keterampilan dan jaringan pertemanan yang luas juga merupakan modal.

Di era milenial ini, mengajak generasi muda untuk menekuni wirausaha seharusnya tidak menjadi pekerjaan rumah yang berat. Pendekatan yang ditempuh tidak harus bersifat formal seperti menggiring mereka memilih program studi terkait wirausaha di perguruan tinggi. Fakta membuktikan banyak wirausahawan sukses bukan merupakan jebolan perguruan tinggi. Kini terdapat banyak sarana belajar untuk membekali diri dengan pengetahuan seputar wirausaha. Ada banyak buku, seminar, lokakarya dan internet yang dapat dijadikan pilihan.

Menekuni wirausaha sesungguhnya bisa diawali dengan langkah sederhana: dimulai dari apa yang sudah dimiliki dan apa yang yang ada di sekitar. Kegemaran memasak, misalnya, adalah potensi yang bisa dikembangkan untuk menghasilkan uang di sektor wisata kuliner. Begitu pula dengan keterampilan menyiapkan sesaji atau majejaitan bisa difungsikan sebagai mata pencaharian, baik utama maupun sampingan. Jika tidak bisa membuat produk sendiri bisa melakukan kerja sama dengan produsen. Semuanya berpulang pada kejelian untuk melihat kebutuhan pasar dan memanfaatkan potensi yang ada. Jadi, tidak harus dengan membuka usaha resmi dalam bentuk UD, CV ataupun PT sejak awal.

Untuk bisa menjadi pelaku wirausaha memang tidak semudah membalikkan telapak tangan. Di samping harus ulet, sabar, dan tahan banting juga dibutuhkan pola pikir yang benar tentang wirausaha yang dijalankan. Tentu saja dukungan dari pihak keluarga juga sangat penting.

Baca juga:  Bangkitkan Pengusaha Berbasis Teknologi

Dengan banyaknya kemudahan yang dapat dimanfaatkan pada era ini, sebenarnya banyak peluang yang bisa digarap generasi muda dalam berwirausaha. Apalagi Gubernur Bali Wayan Koster punya komitmen untuk  memberikan kemudahan bagi para investor lokal dari Bali dalam rangka membangun kemandirian ekonomi Bali sekaligus memperkuat perekonomian secara fundametal.

Wirausaha dalam jaringan

zaman telah berubah. Apa yang dulu dianggap muskil kini bahkan bisa dengan mudah dijalankan. Era digital dengan teknologinya yang semakin canggih memungkinkan setiap orang untuk berbisnis dengan modal relatif kecil tanpa kantor, bahkan bisa dilakukan sambil mengasuh bayi bagi ibu rumah tangga.

Generasi muda pada zaman now yang akrab dengan gawai mestinya lebih kreatif, tidak hanya menggunakan gawai untuk berswafoto ria atau mengunggah status sebagai kegiatan bersosialisasi belaka apalagi menyebar berita bohong. Gawai bisa dimanfaatkan untuk hal yang lebih berharga, yakni menghasilkan uang lewat wirausaha dalam jaringan.

Memang banyak yang masih berpikir negatif tentang wirausaha daring, namun siapa pun tak mungkin menolak perkembangan zaman. Lihatlah, Jack Ma dengan mal daring Taobao dan Tmall telah terbukti berhasil mengubah pola berbelanja masyarakat China dari berbelanja di ritel konvensional menjadi berbelanja daring.

Di Indonesia beberapa mal daring seperti Tokopedia, Bukalapak, Lazada dan yang lainnya telah unjuk gigi sejak beberapa tahun terakhir. Kehadiran mereka bisa dijadikan tempat memulai wirausaha daring bagi generasi muda Bali mengingat begitu banyak produk lokal yang layak dijual ke pasar nasional maupun internasional.

Baca juga:  Pascabanjir Bandang, Ratusan KK Krisis Air Bersih

Yang juga memberi harapan, terutama bagi pemula, mal daring Atomy yang telah buka cabang di 10 negara akan segera hadir di Indonesia. Mal daring Korea Selatan yang akan menjual produk-produk berkualitas tinggi dengan harga lebih murah ini memberikan kesempatan kepada siapa saja untuk menjadi anggota, baik hanya sebagai pembeli dengan harga anggota maupun sebagai perekrut anggota.

Mirip dengan bisnis jaringan yang dikenal sebagai MLM, mal ini memberi kesempatan kepada setiap anggotanya untuk merekrut sebanyak-banyaknya orang untuk bergabung menjadi anggota. Semakin banyak anggota yang diajak bergabung tentu semakin banyak yang berbelanja dan perekrut mendapat peluang untuk meraih penghasilan tak terbatas lewat point value (PV) yang dikumpulkan. Bedanya, jika di bisnis MLM anggota harus membayar uang pendaftaran dalam jumlah tertentu dan harus pula melakukan top up setiap bulan, di Atomy tidak dipungut bayaran apa pun dan tidak ada kewajiban untuk berbelanja dalam jumlah tertentu.

Namun, informasi mengenai hal ini belum begitu menyebar di Bali, sementara di luar Bali, terutama di kota-kota besar di Jawa, orang-orang yang sigap menangkap peluang wirausaha bahkan sudah mulai menyelenggarakan seminar-seminar awal sebagai pembekalan dalam menyambut dibukanya mal dalam jaringan ini pada awal Oktober 2018.

Penulis, pemerhati dan pelaku wirausaha dalam jaringan, tinggal di Tabanan

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *