Warga dihias serba hitam dalam ritual Kebo-keboan yang digelar di Banyuwangi. (BP/son)

BANYUWANGI, BALIPOST.com – Banyaknya event di Kabupaten Banyuwangi jadi daya tarik wisatawan untuk berkunjung ke Kabupaten berjuluk Sunrise of Java itu. Salah satunya saat Ritual Budaya Kebo-Keboan yang digelar di Desa Alasmalang, Kecamatan Singojuruh, Banyuwangi, Jatim.

Ribuan orang tampak memadati desa Alasmalang, Minggu (23/9) pagi. Wisatawan yang datang antusias untuk melihat acara yang masuk dalam Calender event Banyuwangi Festival. “Jumlah event di Banyuwangi tahun 2018 Sebanyak 77 even. Event ini sudah masuk di agenda Banyuwangi festival dan membantu masyarakat, apalagi ini dibuat oleh rakyat khususnya di Desa Alasmalang,” ujar Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas.

Azwar Anas juga mengaku pihaknya terus menjaga kegiatan seperti ini, bahkan event seperti ini sangat terus didorong agar masyarakat bisa menikmati langsung dampaknya. “Event seperti ini sangat mengantri namun kita melihat, kesiapan masyarakat menjadi hal utama. Ini dalam rangka mendorong kebudayaan mendapat impact dari kegiatan Banyuwangi Festival. Sehingga bisa membawa impact besar buat pariwisata di Indonesia khususnya Banyuwangi,” ujarnya.

Baca juga:  Tsunami Selat Sunda, 20 Orang Tewas

Event Kebo-keboan sendiri dimulai dari persiapan para peserta berdandan layaknya kerbau (kebo). Mereka memakai aksesoris lengkap dengan tanduk buatan dan lonceng di lehernya. Tidak hanya itu agar terlihat mirip kerbau. Mereka melumuri tubuhnya dengan cairan hitam yang terbuat dari oli dan arang.

Sebelum pawai Kebo-keboan dimulai, para Sesepuh di Desa Alasmalang mengelar upacara selamatan hingga pembacaan doa. Hal itu untuk meminta berkah keselamatan selama acara berlangsung.

Baca juga:  PT Miliki Peran Strategis Cetak SDM

Ritual budaya ini digelar pada penanggalan Jawa 1-10 Muharam atau Suro. Usai upacara selamatan, dimulailah arak-arakan kerbau manusia. Mereka diarak layaknya kerbau yang sedang membajak sawah lengkap dengan tali untuk mengikat kerbau.

Para kerbau manusia didampingi petani dibelakangnya. Petani sendiri tidak bisa memaksa kemana Kebo-keboan itu berjalan, hanya sebatas mengarahkan.

Mereka jalan ke segala arah untuk mencari kubangan lumpur. Menyeruduk warga yang melihat. Setelahnya, mereka mencempulungkan diri di kubangan yang dekat dengan balai desa.

Setelah kebo-keboan berkumpul di kubangan, munculah peran Dewi Sri (Simbol Kesuburan dan Kemakmuran) untuk menebar benih. Hal itu sebagai petanda bila pertanian segera dimulai dan para kerbau sibuk berebut benih yang dilemparkan Dewi Sri itu. “Ritual serta budaya menjadi satu kesatuan yang tak dipisahkan. Sehingga semua bisa menikmati. Banyuwangi memberi penghargaan kepada masyarakat melalui tradisi budaya, dengan dihormati. Hal itu yang membuat masyarakat akan berkembang dengan sendirinya,” pungkas Anas.

Baca juga:  Polri Kerahkan Satgas Pangan Daerah Ungkap Dugaan Kartel Minyak Goreng

Di kesempatan yang sama, Kepala Biro Komunikasi Publik Kementerian Pariwisata Guntur Sakti, Guntur Sakti, juga mengatakan, Ritual Budaya Kebo-Keboan menjadi wisata atraktif yang mengeksplorasi seni budaya dan keindahan alam. “Atraksi ini sebagai cara ampuh untuk meningkatkan awareness orang masyarakat Banyuwangi. Dan sudah terbukti, banyak wisatawan baik domestik maupun mancanegara menikmati aneka atraksi wisata di Banyuwangi. Direct impact-nya juga langsung terasa oleh masyarakat,” ungkap Guntur. (Nikson/balipost)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *