Oleh Agung Kresna
Kemandirian Ekonomi Bali saat ini seakan sedang dipertaruhkan dalam menghadapi derasnya serbuan ekonomi modern yang masuk melalui pintu industri pariwisata. Gubernur Bali, Wayan Koster, tak menampik kondisi ini. Dia berjanji akan memberikan kemudahan bagi para investor lokal dari Bali, sehingga kemandirian ekonomi Bali dapat dibangun sekaligus akan memperkuat perekonomian Bali secara fundamental (Bali Post, 19/9).
Realitas investasi di Bali memang menunjukkan angka yang kurang menggembirakan. Realisasi investasi PMDN (Penanaman Modal Dalam Negeri) maupun PMA (Penanaman Modal Asing) masih jauh dari target yang dicanangkan. Itu pun lebih dominan di sektor tersier dibanding sektor sekunder apalagi sektor primer. Investasi di sektor tersier utamanya melalui industri pariwisata, namun peran investor masyarakat lokal Bali masih relatif kecil. Meski potensi orang Bali yang tinggal di Bali maupun orang Bali yang tinggal di luar Bali masih cukup besar untuk diajak ikut terlibat membangun ekonomi Bali.
Bali yang dikenal identik dengan budaya tradisional, saat ini sedang dilanda arus ekonomi modern yang serbaberubah dengan cepat. Sebagai sebuah entitas kehidupan yang penuh aura budaya tradisi, Bali memiliki kekayaan cultural heritage yang bersifat tangible maupun intangible. Sayangnya warisan budaya tersebut (utamanya intangible heritage) belum dilihat sebagai sebuah potensi ekonomi yang luar biasa.
Kearifan lokal (local genius) krama Bali merupakan intangible heritage yang dapat menjadi modal sosial cukup besar dalam membangun ekonomi Bali. Sikap komunal penuh kemitraan dalam balutan tatanan anatomi tradisi sosial-budaya krama Bali yang berlandaskan filosofi keseimbangan Tri Hita Karana, mencerminkan modal sosial tersebut. Berbagai piodalan, yadnya, dan aneka upakara dalam keseharian kehidupan masyarakat Bali selalu dalam aura semangat manyama braya. Semua dengan tampilan nuansa karakter khas Bali. Semangat itu diperlukan dalam membangun perekonomian yang berkarakter kemitraan, bukan persaingan.
Ekonomi Kebudayaan
Mekanisme perekonomian pada dasarnya sudah setua umur peradaban manusia itu sendiri. Ketika manusia tidak dapat lagi memenuhi seluruh kebutuhan hidupnya secara mandiri, maka dimulailah mekanisme tukar-menukar barang. Sampai pada akhirnya menggunakan uang sebagai alat tukar barang kebutuhannya, seperti saat ini.
Pembangunan ekonomi esensinya adalah pertumbuhan pendapatan masyarakat dalam suatu wilayah yang disertai dengan perubahan struktur ekonomi masyarakat itu sendiri. Setiap peningkatan pendapatan masyarakat akan selalu dibarengi dengan perubahan budaya dan struktur sosial yang kadang bisa menimbulkan gegar budaya masyarakat. Pembangunan ekonomi tidak dapat dilakukan dengan mengabaikan perilaku budaya masyarakat.
Manajemen perubahan struktural ekonomi masyarakat Bali harus menjadi perhatian para penentu kebijakan pembangunan Bali. Hal ini merupakan bagian dari risk management (manajemen risiko) yang harus disiapkan Bali dalam menghadapi derasnya terjangan arus ekonomi global yang melanda Bali.
Ekonomi kebudayaan menjadi pilihan yang harus dilakukan Bali. Perekonomian Bali tidak boleh dibangun dengan teori ekonomi Barat semata. Harus ada landasan budaya dalam setiap gerak perekonomian Bali. Kemandirian ekonomi Bali harus dibangun sesuai struktur sosial-budaya krama Bali. Diperlukan beberapa penataan dalam sistem perekonomian Bali agar manajemen dan tata kelola ekonomi Bali yang mandiri dapat berlangsung sebagaimana yang kita harapkan.
Pertama, perekonomian Bali harus dibangun secara berbudaya. Bali harus menerapkan pola perdagangan fair trade antarpelaku ekonominya. Harus terbangun jaringan bisnis antarpelaku ekonomi Bali dengan berdasar pada asas simbiosis mutualisme. Perbedaan skala ekonomi yang ada di antara pelaku usaha tidak boleh menciptakan kondisi saling mematikan. Namun, justru harus saling menguntungkan, dengan bergerak di level playing field (tataran pasar sepadan) masing-masing. Tidak boleh tercipta perekonomian Bali yang berpola free trade.
Kedua, menata rantai pasok perekonomian krama Bali. Sektor ekonomi formal dan informal harus berjalan seiring dalam jaringan supply chain (rantai pasok) yang berlangsung secara saling menguntungkan. Tradisi budaya Bali telah melahirkan industri kreatif (utamanya handy craft, seni ukir, patung, lukis) yang berkembang secara mandiri di masyarakat. Industri kreatif ini telah menjelma sebagai kekuatan sektor informal ekonomi krama Bali. Sektor formal dan informal krama Bali harus saling melengkapi dalam rangka membangun kemandirian ekonomi Bali.
Ketiga, membangun sumber daya manusia Bali. Membangun kemandirian ekonomi Bali pada masa depan adalah membangun manusia Bali. Pola pembangunan perekonomian Bali harus mengutamakan perubahan struktur ekonomi krama Bali dengan pemanfaatan transformasi budaya dan sosial. Ketertinggalan dalam pendidikan dan ilmu pengetahuan dapat menciptakan suatu kesenjangan budaya Barat-Modern dan Timur-Tradisional yang akan mempersulit proses pembangunan ekonomi selanjutnya. Kesenjangan kebudayaan antara si pandai dan si bodoh akan menimbulkan permasalahan serius dalam pembangunan ekonomi Bali, bahkan bisa merusak hasil pembangunan itu sendiri.
Merajut kembali berbagai stakeholder ekonomi dan budaya Bali, menjadi langkah yang harus dilakukan secara simultan. Pada dasarnya sektor formal dipacu agar memenuhi standar internasional, sementara sektor informal sebagai katup sosial ekonomi krama Bali tidak boleh digusur. Sektor informal harus dibenahi secara bertahap agar ikut memberi kontribusi pada pertumbuhan kesejahteraan masyarakat Bali dan tidak hanya menimbulkan kekumuhan di kota.
Kesenjangan budaya dan ekonomi merupakan realitas dari salah satu dampak samping yang timbul akibat pertumbuhan ekonomi yang terlalu cepat. Membangun perekonomian Bali pada hakikatnya akan lebih mudah jika selalu terkait dengan potensi budaya yang sudah dimiliki segenap krama Bali. Kembalikan Baliku padaku.
Penulis, arsitek, Senior Researcher pada Centre of Culture & Urban Studies (CoCUS) Bali, tinggal di Denpasar