BANGLI, BALIPOST.com – Desa Trunyan di Kintamani memiliki sebuah tradisi unik dan menarik yang tidak bisa dijumpai di desa-desa Bali Mula lainnya. Tradisi unik tersebut berupa tarian sakral bernama Ratu Brutuk.
Tarian yang sangat disucikan oleh masyarakat setempat itu khusus dipentaskan setiap dua tahun sekali saat upacara/Karya Ngusaba Lanang di Pura Pancering Jagat Trunyan. Dalam pelaksanaan Karya Ngusaba Lanang di Pura Pancering Jagat Trunyan tahun ini, Ratu Brutuk dipentaskan dua kali pada 28 dan 29 September.
Pementasan Ratu Brutuk nampaknya sangat ditunggu-tunggu warga Desa Trunyan, termasuk warga dari luar lainnya. Itu terlihat dari banyaknya warga antusias hadir untuk menyaksikan pementasan ini sejak pagi hingga sore hari.
Warga/pemedek yang hadir tampak berusaha mendekati Ratu Brutuk dengan membawa sesaji. Sementara Ratu Brutuk menari mengelilingi areal Utama Mandala pura sambil membawa pecut yang panjangnya mencapai 6-7 meter.
Jika ada yang melanggar menerobos masuk pura, penari Ratu Brutuk akan melepaskan cambuknya. Sebaliknya, jika pemedek datang dengan sopan dan minta izin, maka Ratu Brutuk akan memberkatinya dengan menyentuhkan pangkal cambuk yang dibawanya di kepala pemedek.
Beberapa warga juga terlihat berusaha mendekati dan meminta izin mengambil bulu Ratu Brutuk untuk diselipkan di daun telinga. Sesuai kepercayaan masyarakat setempat bulu Ratu Brutuk diyakini berkhasiat untuk mengobati penyakit.
Ketua Panitia Karya I Ketut Jaksa ditemui di sela-sela pementasan Ratu Brutuk Sabtu (29/9) lalu mengatakan pada pementasan pada Jumat (28/9), Ratu Brutuk yang ditarikan sebanyak 19. Sementara pada pementasan kedua, tapel Ratu Brutuk yang ditarikan sebanyak 21.
Dijelaskan Jaksa, para penari Ratu Brutuk adalah orang pilihan yang disebut daha teruna. Sebelum menarikannya, mereka telah melalui serangkaian proses penyucian dengan dipingit selama 15 hari di Pura Pancering Jagat. Mereka yang melanggar proses itu akan terkena hukuman niskala.
Disampaikan juga oleh Jaksa bahwa Ratu Brutuk yang dipentaskan memiliki rupa tapel yang berbeda-beda. Pecut/cemeti yang dibawa Ratu Brutuk terbuat dari kulit pohon waru. Menurut kepercayaan warga setempat, siapapun yang terkena pecutan cemeti yang dibawa penari, akan sembuh dari penyakitnya. “Tarian ini merupakan simbol pertemuan purusa dan pradana atau penyatuan akasa lawan pertiwi (langit dan bumi), yang dipercaya memberikan kesuburan dan kesejahteraan alam semesta, beserta isinya. Tari sakral ini juga merupakan simbol pertemuan Ida Ratu Sakti Pancering Jagat dengan Ida Ratu Ayu Dalem Dasar,” jelasnya. (Dayu Swasrina/balipost)