Oleh I Dewa Gde Satrya
Presiden Jokowi melayangkan kesanggupan Indonesia sebagai tuan rumah 2032. Sport event terbesar di dunia itu, tahun 2020 akan diselenggarakan di Tokyo, 2024 di Paris, 2028 di Los Angeles. Sejumlah negara akan mengikuti bidding sebagai tuan rumah Olimpiade 2032, di antaranya Jerman, Australia, dan India. IOC akan mengumumkan pemenang tuan rumah Olimpiade 2032 pada 2025, masih ada waktu tujuh tahun bagi Indonesia untuk berbenah.
Hal ini disampaikan Presiden Jokowi pada pertemuan dengan Presiden Komite Olimpiade Internasional Thomas Bach dan Presiden Dewan Olimpiade Asia Syeikh Ahmad Al Fahad Al Sabah di Istana Bogor. Komite Olimpiade dan Internasional dan Dewan Olimpiade Asia mengapresiasi penyelenggaraan dan partisipasi masyarakat dalam Asian Games ke-18 di Jakarta dan Palembang.
Mimpi Indonesia menjadi tuan rumah Olimpiade juga pernah disampaikan Menpora Andi Mallarangeng. Menurutnya, Indonesia 20-30 tahun mendatang, rasanya baru siap menjadi tuan rumah Olimpiade, bukan sekarang.
Pernyataan Menpora Andi, dan kini disampaikan Presiden Jokowi, bukan sekadar angan-angan. Prediksi dari perspektif ekonomi menyebutkan masa keemasan Indonesia diperkirakan tahun 2030. Olimpiade memang menggugah banyak anganan, termasuk harapan Indonesia menjadi tuan rumah.
Ada sejumlah benefit sebagai tuan rumah pesta akbar olahraga sejagat raya itu, namun usaha dan pengorbanan yang tak terkira juga menjadi keniscayaan. Olahraga menjadi dimensi yang kian diperhitungkan menjadi bagian dari turisme, dari perspektif inilah tourism bisa menjadi batu loncatan untuk merintis pencapaian mimpi besar tersebut.
Pada hari pariwisata se-dunia pada tahun 2004 yang dipusatkan di Malaysia bahkan mengangkat tema “sport and tourism: two living forces for mutual understanding, culture and the development of societies’’. Undang-undang nomor 3 tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional mempertegas adanya unsur rekreasi (wisata) dalam olahraga.
Maksud dari perundangan itu semakin gamblang manakala ada dampak ekonomis dari event olahraga yang juga menjadi event pariwisata. Olahraga di satu sisi sebagai pintu masuk bagi sektor pariwisata untuk mendatangkan devisa dan menggerakkan perekonomian lokal (serta nasional) tempat event olahraga diselenggarakan. Di sisi lain, olahraga juga menjadi indikator martabat suatu negara, baik itu negara yang ketempatan sebagai tuan rumah, maupun negara yang keluar sebagai jawara kompetisi olahraga antarnegara.
Secara khusus, wisata olahraga melalui event-event sport berkelas internasional, meskipun diadakan temporer, ditengarai sebagai motor pemicu peningkatan taraf ekonomi yang signifikan bagi tuan rumah penyelenggara. Hal itu dipertegas oleh Arismundar (1997), bahwa pariwisata juga akan berkembang sampai ke wisata ilmu dan teknologi, serta wisata olahraga.
Kebutuhan pariwisata dan olahraga dapat memicu bisnis baru, jasa dan produk baru. Di antaranya, jasa layanan tempat olahraga, perdagangan peralatan olahraga, dan terutama meningkatnya kesadaran masyarakat akan pentingnya olahraga.
Selain itu, menyangkut komitmen pemerintah dalam pembangunan infrastruktur – baik yang terkait langsung dengan olahraga maupun yang mendukung – yang berkualitas dan berstandar internasional. Infrastruktur yang terkait langsung terletak pada fasilitas dan standar kualitas arena pertandingan berstandar internasional. Sarana pendukung mulai dari airport, transportasi, akomodasi hotel, tempat perbelanjaan dan sarana rekreasi, rumah sakit, keamanan, kebersihan, dan lain sebagainya.
Pada Games of the XXIX Olympiad (Pertandingan Olimpiade ke-29) di Beijing, misalnya, sebanyak 302 pertandingan dari 28 cabang olahraga dilagakan. Jutaan manusia di seluruh dunia menyorot Beijing saat itu, datang langsung ke sana atau menyaksikan lewat televisi dan internet. China tidak sekonyong-konyong mendapat kepercayaan dunia sebagai tuan rumah event olahraga paling bergengsi seantero jagat raya itu.
Di samping perekonomian negara tersebut yang maju pesat, habit dan prestasi olahraga yang cukup kuat, juga kebijakan dan komitmen pemerintah dalam menyiapkan penyelenggaraan Olimpiade patut kita apresiasi. Sebut misalnya, kebijakan pelarangan membunyikan klakson kendaraan bermotor di pusat kota, dan kebijakan membersihkan udara. Meski mengundang kontroversi, terutama bagi warga China sendiri, namun langkah-langkah tegas dan efektif dari negara sebagai penanggung jawab utama Olimpiade sangatlah diperlukan.
Indonesia 2030
Yayasan Indonesia Forum yang mewadahi para tokoh nasional telah merumuskan visi Indonesia 2030 sebagai negara maju yang unggul dalam pengelolaan kekayaan alam. Pada tahun 2030, Indonesia diproyeksikan akan mencapai pendapatan per kapita sekitar US$ 18 ribu.
Dengan jumlah penduduk mencapai 285 juta jiwa, Indonesia masuk dalam lima besar perekonomian dunia dengan PDB sebesar US$ 5,1 triliun. Hal ini diikuti dengan representasi kelompok usaha Indonesia yang terkemuka di tingkat dunia.
Saat ini, Indonesia berada pada kelompok negara berpendapatan menengah ke bawah (lower middle income). Posisi ini diperkirakan akan terus bertahan hingga tahun 2015 sebelum Indonesia masuk kelompok negara berpendapatan menengah ke atas (upper middle income). Proses industrialisasi akan menjadi katalisator akumulasi modal menuju negara maju dengan kontribusi terbesar dari sektor jasa.
Visi tersebut ditopang oleh empat pencapaian utama, pertama, masuknya Indonesia dalam lima besar kekuatan ekonomi dunia dengan pendapatan per kapita sekitar US$ 18 ribu dan jumlah penduduk sekitar 285 juta jiwa. Kedua, terwujudnya pemanfaatan kekayaan alam yang berkelanjutan, antara lain masuk dalam sepuluh besar tujuan pariwisata dunia dan tercapainya kemandirian dalam pemenuhan energi domestic, Ketiga, terwujudnya kualitas hidup modern yang merata (shared growth), antara lain ditandai oleh masuknya Indonesia dalam 30 besar indeks pembangunan manusia (HDI) terbaik di dunia. Keempat, masuknya paling sedikit 30 perusahaan Indonesia dalam daftar Fortune 500 Companies.
Sejumlah lembaga pemeringkat internasional juga mengeluarkan pernyataan serupa. Pertama, Goldman Sachs Group membuat istilah baru, Next11, mencakup Indonesia, Turki, Korea Selatan, Meksiko, Iran, Nigeria, Mesir, Filipina, Pakistan, Vietnam, dan Bangladesh. Kedua, Morgan Stanley mengusulkan tambahan Indonesia pada BRIC menjadi BRICI (Brazil, Rusia, India, China, Indonesia). Alasannya, dalam lima tahun ke depan, diperkirakan PDB Indonesia mencapai US$ 800 miliar.
Ketiga, majalah The Economist, pada Juli 2010 memasukkan Indonesia sebagai calon kekuatan ekonomi baru pada 2030 di luar BRIC. The Economist mengenalkan akronim baru dengan sebutan CIVETS, kepanjangan dari Colombia, Indonesia, Vietnam, Egypt, Turkey, dan South Africa. The Economist memperkirakan PDB enam negara ini rata-rata akan tumbuh 4,5 persen per tahun selama 20 tahun ke depan. Impian Olimpiade diadakan di Indonesia semoga menjadi kenyataan.
Penulis, dosen International Hospitality & Tourism Business, Universitas Ciputra