Korupsi
Ilustrasi. (BP/Dokumen)

Oleh Bagus Nuari Harmawan

Tren korupsi pejabat publik di Indonesia nampaknya belum akan berhenti. Fenomena ini bisa kita lihat dari masifnya OTT terhadap kepala daerah hingga pertengahan tahun 2018. Terdapat sepuluh kepala daerah yang telah tertangkap dan ditetapkan menjadi tersangka korupsi. Sebelumnya, Indonesia Corruption Watch (ICW) juga melansir bahwa pada tahun 2017 sebanyak 30 Kepala daerah yang terdiri atas 1 gubernur, 24 bupati/wakil bupati, 5 wali kota/wakil wali kota telah ditetapkan menjadi tersangka. Jumlah tersebut mengalami kenaikan dibandingkan tahun 2016 yang berjumlah 21 orang.

Korupsi dalam lingkup pemerintahan daerah hari ini dilakukan dalam beragam bentuk dan pola. ICW menyebutkan jika modus korupsi yang dilakukan kepala daerah sering kali berkaitan dengan penyalahgunaan APBD, perizinan, pembangunan infrastruktur, pengadaan barang dan jasa pemerintah, promosi dan mutasi jabatan,  hingga pengelolaan aset daerah. Motif korupsi yang dilakukan oleh kepala daerah sering kali dilakukan saat bekerja sama dengan swasta adalah suap dalam hal izin maupun pemenangan tender proyek.

Korupsi terkait izin pemerintah sering kali dilakukan ketika pihak swasta melakukan permohonan kepada pemerintah untuk membangun usaha dalam skala yang cukup besar. Pemerintah akan meminta fee atau sebaliknya swasta yang akan memberikan uang sogokan kepada pejabat publik.

Korupsi terkait pemenangan tender proyek pembangunan dan pengelolaan proyek pemerintah hari ini berada dalam lingkup public privat partnership (PPP) yaitu proses kerja sama antara aktor-aktor publik swasta, di mana mereka bersama-sama mengembangkan produk dan jasa serta pembagian rasio, biaya, dan sumber daya yang dihubungkan dengan produk dan pelayanan (Van Ham & Koppenjan dalam Purwanti, 2016). Untuk bisa bekerja sama dalam skema PPP dengan pemerintah, sering kali pihak perusahaan akan bersaing dengan perusahaan yang lainya agar terpilih dalam proyek pembangunan dalam lelang tender.

Baca juga:  Dituntut 10,5 Tahun Penjara, Mantan Ketua LPD Bakas Mohon Keringanan

Proses persaingan dalam upaya pemenangan tender ini tidak selamanya dilakukan secara bersih. Potensi kecurangan yang dilakukan oleh pihak swasta untuk menyuap maupun kecurangan oleh pejabat publik dengan menarik fee untuk memenangkan tender terbuka lebar. Korupsi sering menjerat pejabat dalam proses tawar-menawar pemenangan tender dengan swasta yang memberikan biaya uang terbesar ataupun memiliki koneksi yang lebih dekat atau familiar dengan pejabat.

Potensi korupsi dalam lingkup pemerintahan juga hadir dalam proses  pengadaan barang dan jasa yang dilakukan oleh pemerintah maupun kerja sama dengan swasta. Dalam salah satu artikel peneliti Indonesia Institute Zihan Syahayani (2017) berjudul “Korupsi Pengadaan Barang dan Jasa di Indonesia” menyebutkan bahwa korupsi pengadaan barang dan jasa  (PBJ) dapat muncul dalam berbagai tahapannya.

Korupsi PBJ dapat muncul dalam perencaan pengadaan dalam bentuk mark-up anggaran, pembentukan lelang, pra-kualifikasi perusahaan, penyusunan dokumen lelang, tahap pengumuman dokumen lelang hingga tahap penyusunan harga perkiraan sendiri.

Menurunnya Pelayanan dan Pembangunan

Kebijakan desentralisasi yang memperbesar otoritas daerah untuk mengelola pemerintahan dan keuangannya secara mandiri tidak selamanya menghasilkan dampak positif. Korupsi menjadi salah satu momok penyebab pembangunan melambat di era otonomi daerah.

Baca juga:  Jembrana Kembali Alami Puluhan Kasus COVID-19, Salah Satunya Kadis

Mendagri Tjahjo Kumolo dalam website www.Kemendagri.go.id menyebutkan bahwa 17,07% program dalam RPJMD tidak dijabarkan dalam RKPD. Selain itu, terdapat 25,03% Inkonsistensi antara rencana kerja pemerintah daerah (RKPD) dengan prioritas platform anggaran sementara (PPAS). Tjahjo Kumolo menjelaskan jika faktor tersebut dipengaruhi karena banyaknya kepentingan dalam perencanaan pembangunan tersebut.

Salah satu unsur yang sangat merugikan pemerintah daerah dalam menjalankan skema pembangunan hari ini adalah kerugian negara atas anggaran yang telah menjadi “kue bancakan” para koruptor. Transparansi Internasional Indonesia (TII) melansir bahwa 30-40 % anggaran APBD menguap karena korupsi.

Dari kuantitas tersebut sekitar 70% korupsi dilakukan dalam permainan pengadaan barang dan jasa pemerintah. Fenomena korupsi ini terus dijalankan oleh oknum-oknum kepala daerah “nakal” saat menjalankan roda pemerintahannya, terutama saat menjalankan proyek pembangunan. Hal ini selaras dari data yang dimiliki oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menyebutkan jika korupsi yang dilakukan oleh 75 kepala daerah selama awal KPK berdiri hingga sekarang telah menghasilkan  kerugian bagi negara sebesar 1,8 triliun.

Beberapa potret kenakalan pejabat publik dalam menjalankan pembangunan bisa kita lihat dari proyek-proyek infrastruktur. ICW melansir, pada tahun 2017 terdapat 158 kasus korupsi infrastruktur. Penyebaran korupsi terbanyak berada di Pulau Jawa dan Sumatera dengan kuantitas 21 kasus di Jawa Barat, 18 kasus di Jawa Timur, dan 11 kasus korupsi infrastruktur di Sumatera Utara.

Baca juga:  Gerakan Perubahan Berbasis Sekolah

Korupsi dalam pembangunan infrastruktur ini secara serius akan memengaruhi dua hal yaitu bocornya anggaran karena menjadi “bancakan” dan pada kondisi tertentu korupsi yang dilakukan dapat memberhentikan keberlangsungan proyek karena kehabisan anggaran. Kasus korupsi pengadaan barang dan jasa oleh pemerintah juga memberikan sumbangsih korupsi yang cukup tinggi.

Pada tahun 2017, negara mengalami kerugian Rp 1 triliun karena dampak 84 kasus korupsi pengadaan barang-jasa. Dalam skema pemerintahan, barang dan jasa menjadi sarana utama dalam menghasilkan pelayanan publik yang berkualitas. Korupsi dalam proyek pengadaan barang dan jasa secara signifikan akan berpengaruh kepada terkurasnya anggaran dan buruknya kualitas sarana dan prasarana pemerintah.

Dampak riil dari dampak korupsi juga bisa kita lihat dari tidak efisienya pelayanan publik di Indonesia hari ini. Berdasarkan penilaian lembaga PERC (Political and Economic Risk Consultancy) Indonesia menempati peringkat 2 terburuk di Asia di bawah India dalam kategori Efektivitas Layanan Publik dengan skor 8.59 dari standar angka 1 terbaik dan 10 terburuk. Beberapa unsur yang menyokong birokrasi seperti SDM, sarana dan prasarana, serta sistem kerja yang dijalankan oleh birokrasi telah menurun karena dampak korupsi secara masif.

Penulis, Mahasiswa Magister Manajemen dan Kebijakan Publik Universitas Gadjah Mada

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *