Pernyataan Menko Maritim Luhut Penjaitan ada baiknya kita cermati bersama. Kita jangan pernah menyesal atau lari dari kenyataan bahwa kita hidup di daerah rawan bencana. Ini adalah takdir kita hidup di negeri Khatulistiwa. Negeri yang dikelilingi cincin api ini secara kajian geografis memang sangat rawan gempa. Bahkan potensi terjadinya gempa sangat terbuka.
Menyadari kondisi ini, maka sudah selayaknya kita menyadari ancaman yang ada di sekitar kita. Sadar dan berbuat untuk melakukan antisipasi dari kemungkinan terburuk dilanda bencana haruslah dibangun. Rakyat di negeri ini jangan terlalu mempolitisasi bencana alam hanya untuk kepentingan politik semata.
Jangan terbiasa menyalahkan orang atau kebijakan pemerintah. Hal-hal sepele jangan sampai merusak langkah strategis yang dibangun pemerintah mengatasi dampak bencana. Kita harus sadar, bencana alam adalah bencana kemanusiaan juga. Kewajiban kita sebagai manusia adalah saling menolong dan bergotong royong mengatasi bencana.
Untuk itu pula ada baiknya ke depan ada skema yang terukur dan jelas kita rumuskan untuk menghadapi bencana. Kita harus menjadikan bencana alam yang belakangan terjadi (Lombok, Palu dan Donggala di Sulawesi Tengah) sebagi media membangun dan memupuk rasa nasionalisme. Kita harus bangkit. Kita mestinya bersama dan bahu membahu meringankan beban warga terdampak bencana, haruslah menjadi kesadaran bersama.
Tentu sikap tanggap pascabencana juga harus diimbangi dengan sikap taktis sebelum bencana mengancam. Edukasi dan pelatihan untuk mengatasi dampak bencana harus dilakukan. Kepekaan dan penyediaan fasilitas umum mungkin bisa menjadi pilihan. Selama ini, ketika bencana terjadi sering kita gelagapan karena fasilitas untuk mengatasi kondisi darurat kita tak siap.
Minimnya fasilitas pendukung membuat kita tak berdaya menyelamatkan nyawa manusia. Untuk itu, sangatlah relevan jika ke depan dunia pendidikan juga megajarkan atau membentuk karakter sadar bencana. Gerakan tanggap bencana harus dibangun sejak dini. Siswa maupun masyarakat harus digerakkan pada satu situasi cepat dan taktis untuk menghindar jika bencana itu datang.
Hal lainnya adalah melakukan pendekatan taktis dari segi prasarana. Kita jangan lagi menganggap Badan Penanggulangan Bencana daerah (BPBD) sebagai lembaga pelengkap pemerintahan. Lembaga ini hendaknya benar-benar profesional dan lengkapi dengan fasilitas yang memadai.
Mentalitas dan dukungan sarana tentu akan membuat lembaga ini lebih berdaya menghadapi ancaman bencana. Selama ini masih sering kita dengar kalau badan atau lembaga ini kantornya tak representatif. Bahkan, dari ketersediaan sarana dan fasilitas juga minim.
Untuk itulah ketika bencana menjadi ancaman bagi kita yang bermukim di Indonesia, maka gerakan tanggap bencana harus terbangun. Jangan terus menyalahkan alam. Kita harus bersahabat dengan alam. Langkah evaluasi atau perenungan terhadap gaya kita mengelola alam mungkin juga layak dilakukan.
Apakah selama ini kita telah mengeksploitasi alam secara berlebihan bahkan serakah? Ini yang harus kita cermati. Sebab ada kecenderungan kerakusan kita mengelola alam untuk kepentingan ekonomi sering kali berdampak pada upaya-upaya membangun keseimbangan ekosistem di muka bumi ini.
Kita harus sadar bahwa alam adalah ruang dan tempat untuk kita hidup. Perlakukan alam secara wajar dan bersahabat. Jangan memperkosa alam hanya untuk kepuasan temporer. Gerakan tanggap bencana bisa kita analogikan dengan gerakan peduli dengan keseimbangan alam.