Oleh Yenie Purnomoratih, S.E., M.Sc.
Tantangan ke depan adalah merencanakan kapabilitas masa depan SDM sebagai bagian dari modal penting bagi organisasi, terutama dalam ekonomi digital, seperti memastikan setiap SDM, khususnya yang berada di level pemimpin untuk memiliki kompetensi digital. Dalam hal ini, pimpinan sekurang-kurangnya harus memiliki pengetahuan dan kemampuan dalam menggunakan alat/aplikasi IT.
Pengetahuan dan kemampuan tersebut diharapkan dapat dimanfaatkan untuk mengolah data mengingat akses untuk mendapatkan data sudah makin mudah dengan transformasi teknologi digital. Kemudian pada tahapan selanjutnya, kompetensi yang idealnya dimiliki oleh SDM di level pimpinan tersebut menjadi suatu modal baru untuk merancang penugasan-penugasan khusus (project assignment) bagi para staf maupun anggota timnya. Dan untuk itu, dibutuhkan pula kemampuan dalam membangun networking, baik secara horizontal maupun vertikal.
Mengapa pimpinan yang harus diutamakan? Karena pimpinan yang memegang peran penting dalam membentuk pola organisasi. Namun untuk saat ini, SDM yang sedang berada di level pimpinan hampir seluruhnya di luar kelompok milenial, sehingga pada mereka masih melekat karakter kepemimpinan konvensional/belum digital minded.
Oleh karenanya, para pimpinan dalam kondisi tersebut dituntut untuk bersikap adaptif dan fleksibel, khususnya memberi kebebasan bagi timnya untuk berinovasi dan mengembangkan ide dalam upaya penyelesaian tugas-tugasnya. Adaptif dan fleksibel dalam hal ini terutama dibutuhkan untuk menghadapi dan menyelaraskan beragam karakter dan latar belakang pendidikan dari SDM lintas generasi, agar menjadi tim yang solid dengan beragam keahlian kunci.
Para pimpinan harus mampu menetapkan goal setting yang jelas dan membuat keputusan secara cepat namun tetap didasarkan pada hasil analisis, yang biasanya dibutuhkan oleh kelompok milenial yang seringnya ingin cepat selesai dan kurang sabar. Selain itu, mereka harus dapat memberikan umpan balik yang tepat, terlebih yang berupa penghargaan kepada bawahan/anggota timnya.
Hal ini sangat diperlukan terutama untuk membangun keterikatan (engagement) dengan kelompok generasi milenial dengan karakteristik dominannya yang mudah bosan dan dikenal sebagai “kutu loncat” karena fokusnya mudah beralih.
Cepatnya gerak era digital mengubah cara organisasi beroperasi secara fundamental, baik di sektor swasta maupun di sektor publik. Gerak perubahan tersebut mendorong setiap organisasi menjadi lebih fleksibel, responsif, dan inovatif. Sebagaimana yang dinyatakan Charles C Snow et al. (2017), perubahan tersebut berdampak besar pada sosial dan ekonomi, termasuk peningkatan persaingan dan kolaborasi, gangguan (disruption) terhadap beberapa kelompok industri, serta tekanan terhadap organisasi untuk mengembangkan kemampuan dan budaya baru.
Dari sudut pandang manajemen proses bisnis, perubahan teknologi digital yang sangat cepat dapat mendorong organisasi untuk menghasilkan dan menyampaikan produk layanan dengan lebih cepat. Pada tahapan lainnya, perubahan teknologi tersebut mengubah organisasi sehingga dapat melakukan monitoring dengan lebih mudah dan cepat, serta dapat mengakses ataupun menyajikan data dengan lebih cepat dan beragam, dan pada akhirnya dapat memudahkan pengambilan keputusan di tingkat manajerial. Tidak terkecuali terhadap organisasi pemerintah.
Fleksibilitas dan kecepatan perusahaan/organisasi dalam merespons perubahan tersebut harus sejalan dengan kemampuan seluruh SDM. Dalam hal ini yang menjadi tantangan adalah keberadaan SDM lintas generasi, karena dari kondisi tersebut timbul kesenjangan (gap) kompetensi digital.
Untuk mengatasinya, diperlukan upaya peningkatan kompetensi digital khususnya bagi SDM dari kelompok generasi pra-milenial. Namun, upaya menjembatani gap kompetensi bukan hanya technical skill.
Peningkatan soft skill juga dibutuhkan karena sangat berkaitan dengan proses engagement seluruh pegawai tanpa terkecuali. Berkenaan dengan soft skill ini, terhadap kelompok generasi pra-milenial diperlukan upaya yang kuat dan terus-menerus untuk membangun pola pikir dan kepekaan SDM atas adanya perubahan budaya yang terjadi karena digitalisasi proses kerja.
Sedangkan bagi generasi milenial, strategi membangun soft skill lebih berfokus pada upaya menanamkan work ethics serta penguatan good attitude berdasarkan visi, misi, dan nilai (value) perusahaan/organisasi, yang utamanya dimaksudkan untuk meminimalisasi efek kurang baik dari beberapa karakter utama yang mereka miliki.
Penulis, Kasubbag Kepegawaian Kanwil Ditjen Perbendaharaan Provinsi Bali, Kementerian Keuangan RI