Oleh GPB Suka Arjawa
Di tengah suasana duka yang menyelimuti bangsa Indonesia akibat gempa dan tsunami di Palu dan Donggala, tiba-tiba saja jagat politik Indonesia diguncangkan oleh kebohongan yang dilakukan oleh aktivis Ratna Sarumpaet. Ia yang menjadi juru kampanye pasangan calon presiden Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno mengaku dipukuli oleh oknum sehingga membuat mukanya lebam.
Kondisi muka lebam yang disebar di media sosial itu sempat membuat simpati banyak netizen termasuk pembelaan dari mereka yang berada di belakang pasangan Prabowo-Sandiaga Uno. Beberapa hari kemudian, Ratna Sarumpaet sendiri yang kemudian mengakui dirinya berbohong dan lebam pada mukanya itu ternyata disebabkan efek penyedotan lemak yang dilakukannya pada bagian muka.
Maka, sekali lagi di tengah duka mendalam bangsa Indonesia akibat bencana alam itu, banyak pihak yang terperanjat, kecewa, marah bahkan ada yang sampai tidak mampu mengungkapkan perasaannya melihat fenomena ini. Pasangan Prabowo-Sandiaga sampai melakukan jumpa pers untuk mengungkapkan pengakuan jujurnya terhadap peristiwa ini.
Disebut-sebut juga kalau Ratna Sarumpaet yang pernah menjadi artis tersebut, dipecat dari keanggotaan tim kampanye. Tentu saja kebohongan ini dapat merugikan kredibilitas pasangan tersebut. Saat jumpa pers, Amin Rais juga datang.
Sudah terpukul oleh fenomena gempa bumi dahsyat di Lombok dan Sulawesi Tengah, bangsa Indonesia boleh dikatakan kecewa dengan ulah juru kampanye calon pasangan presiden tersebut. Apabila dikaitkan lagi, kebohongan itu terjadi justru pada saat dunia sedang bergembira ria menyambut para pemenang Hadiah Nobel di bulan Oktober ini.
Kebohongan itu terjadi pada saat Norwegia mengumumkan tiga kategori pemenang hadiah Nobel, yaitu Kedokteran/Fisiologi, Fisika dan Kimia. Hadiah Nobel jelas diberikan kepada mereka yang jujur dan tekun dengan profesinya selama berdekade-dekade, dan memberikan sumbangan pengetahuan demi perbaikan kualitas umat manusia.
Yang menarik untuk dilihat, mengapa kesadaran untuk berlaku jujur dan mengakui kebohongan itu muncul berhari-hari (sekitar seminggu) setelah fenomenanya berlanjut ramai di media sosial? Kebohongan politik yang berskala nasional mempunyai bahaya yang besar, dalam arti akan mampu menjungkirbalikkan keadaan, menurunkan reputasi jika kemudian kebohongan itu terbukti.
Dalam hal ini, bukan tidak mungkin kepercayaan masyarakat kepada pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno akan merosot drastis jika tukang kampanyenya terbukti berbohong. Apalagi kemudian pembela Ratna Sarumpaet ketika menyatakan dirinya dipukuli itu, adalah orang-orang dekat pasangan tersebut.
Maka, sebagai sebuah strategi untuk menghambat pengaruh kemerosotan itu, adalah mengakui sendiri kebohongan itu sebelum diungkapkan oleh orang lain yang mengetahui. Ini merupakan strategi negative defense, untuk mempertahankan sisa kedudukan dengan mengandalkan kejujuran sebagai faktor positif.
Di tengah pemahaman politik negatif yang dipahami oleh sebagian anggota masyarakat, maka sebuah kejujuran, betapapun kejujuran itu muncul sebagai akibat kesalahan fatal, tetap dinilai mempunyai kedudukan positif. Dengan konteks demikian, amat mungkin pengakuan kebohongan secara jujur ini adalah sebuah strategi untuk mempertahankan sisa kepercayaan.
Kelompok ini akan dengan sendiri mampu mengatakan bahwa mereka jujur karena terbukti telah mengakui kekhilafannya di depan umum. Dengan upaya mengorbankan pelaku kebohongan, diharapkan kepercayaan masyarakat terhadap pasangan Prabowo-Sandiaga masih tetap ada.
Berkait dengan konteks uraian di atas, dapat juga diduga bahwa kebohongan tersebut telah tercium sebelumnya oleh pihak-pihak tertentu. Bisa jadi pihak lawan yang sudah melacak, dan dicium oleh pihak pembohong sehingga berpotensi akan disebarluaskan oleh pihak lawan.
Jika ini terjadi, maka boleh jadi pihak yang melakukan pembohongan, termasuk dengan tokoh-tokohnya akan mendapatkan efek sangat negatif. Bukan tidak mungkin menghancurkan. Jadi, pengakuan ini merupakan sebuah pilihan rasional untuk dapat menyelamatkan muka, sambil mengkredit buah positif dari kejujuran tersebut (betatapun itu berasal dari sebuah kebohongan).
Namun, mengapa kemudian pengakuan itu datang seolah terlambat, datang berhari-hari setelah kebohongan itu menyebar di masyarakat. Bahkan, beberapa pihak dari orang-orang dekat Prabowo-Sandiaga sempat mencak-mencak dan membela “kebenaran” dari lebamnya muka Ratna Sarumpaet. Kemungkinan ada pihak yang curiga kalau kebohongan itu diciptakan untuk mendapatkan simpati.
Sebab, bagaimanapun apabila menggunakan “bahasa tubuh”, lebamnya muka seorang (politisi) perempuan akan menimbulkan simpati dari masyarakat. Jika benar, ini juga sebuah strategi. Dalam arti mencari strategi untuk mencari simpati masyarakat atas ketidakadilan terhadap perempuan dan ketidakjantanan terhadap perempuan.
Bagaimanapun, kampanye merupakan sebuah upaya pencarian simpati, terlepas bagaimana cara pencapaian simpati tersebut. Lukanya salah satu simpatisan politisi yang paling vokal, akan mampu memberikan simpati kepada tokoh yang ada di balik korban bersangkutan.
Politik di Indonesia cukup kental dengan simpati-simpati tersebut untuk dapat mendekatkan rakyat kepada seorang tokoh. Megawati Soekarnoputri pernah dinyatakan mendapaat dukungan banyak karena terlalu ditekan pada zaman Orde Baru. Bahkan, di samping dengan jiwa kepahlawanannya, Soekarno juga mendapatkan simpati tak terhingga karenaa masa akhir jabatannya yang dipandang tertekan oleh rezim yang berkuasa.
Terlepas dari itu semua, politik kebohongan sekarang sudah menjadi jelas, tidak akan mendapatkan tempat di Indonesia. Terbongkarnya kebohongan ini, pengakuan kebohongan ini, langsung atau tidak langsung telah mencerminkan ketidaksukaan masyarakat dengan politik yang bersifat negatif.
Bagi bangsa Indonesia, khususnya bagi para politisi, sisi positif dari peristiwa ini adalah bahwa rakyat tidak suka dibohongi. Rakyat juga dapat belajar dari bahasa, baik bahasa verbal maupun tubuh dari politisi dan menilai bagaimana sesungguhnya ke dalaman politisi yang bersangkutan.
Pengakuan kebohongan dan permintaan maaf dari tokoh-tokoh politik ini akan menjadi semacam pembaruan bagi kebersihan politik Indonesia di masa depan. Prabowo Subianto juga menyatakan secara terbuka meminta maaf atas kejadian ini dan mempersilakan pihak-pihak yang mau melakukan tindakan hukum. Inilah yang akan menjadi pelajaran positif di masa depan bagi politik Indonesia. Kebohongan akan memberikan kebodohan kepada masyarakat dan kebodohan tidak membuat negara maju.
Penulis, staf pengajar Sosiologi FISIP Universitas Udayana