Oleh Supartha Djelantik
Menghambat pemenuhan hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya, adalah kejahatan luar biasa (extra ordinary crimes). Apabila dihubungkan dengan HAM dapat dikategorikan sebagai pelanggaran HAM berat (gross violation of human rights), sehingga dibutuhkan upaya luar biasa tentang cara-cara pencegahan, penindakan, dan syarat-syarat rehabilitasi yang diatur dalam ketentuan perundang-undangan. Perjalanan pemberantasan korupsi secara intens telah dilakukan hampir genap lima dakade lalu.
Lahirnya UU No. 3 tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, menjadi tonggak kesadaran dari ancaman korupsi. Namun, penegakan hukum terhadap kejahatan tindak pidana korupsi sampai saat ini belum juga menampakkan efek penjeraan atau mengikis habis korupsi.
Sekalipun upaya terstruktur sudah dicanangkan melalui UU, namun penindakan terhadap korupsi mendapat tantangan serta pelemahan yang justru bersumber dari elite kekuasaan. Korupsi tetap berlanjut dan meluas dengan modus yang semakin canggih, terstruktur dan elitis yang bersumber dari nafsu berkuasa dan keserakahan.
Money politic dan kalkulasi balik-modal ketika kebajikan dibungkus dan dibangun dalam konstruksi transaksional. Uang dan nepotisme menjadi standar calon anggota legislatif atau eksekutif, kemudian diperburuk dengan maraknya kolaborasi politisi-preman dalam upaya merebut suara rakyat dengan pola jual-beli kepala, menyebabkan politik semakin elitis, mahal, dan menyandera ke dalam perilaku koruptif. Korupsi mengganggu tata nilai kemuliaan dalam berbagai kebijakan konspiratif, manipulasi fakta, dan data.
Hukum bagai pisau bermata dua, satu sisi sebagai alat kebaikan dan sisi yang lain sebagai pembenar ketidakbaikan. Keinginan mewujudkan kepastian, kemanfaatan dan keadilan menemukan ketidakbaikan di balik kekuasaan yang lahir dari kedaulatan rakyat. partai politik (parpol) sebagai pilar demokrasi ternyata lumpuh di hadapan korupsi dan tidak jarang berkolaborasi atau bahkan episentrum dari korupsi.
Para koruptor bersembunyi di dalam rumah para negarawan, hukum dimainkan dan ditransaksikan bagaimana layaknya barang, dan dimanfaatkan untuk menggergaji integritas, dan membinasakan lawan politik tanpa pilih bulu. Hukum bergeser menjadi instrumen pembenaran perilaku koruptif melalui UU dalam untaian pasal-pasal multitafsir, dan penguatan melalui putusan hakim yang membingungkan rakyat.
Korupsi semakin elitis, terorganisasi dan sistematik (perfect crime), dampaknya menjadi ancaman serius terhadap rasa keadilan, menyengsarakan atau memiskinkan kehidupan rakyat dan merusak sendi-sendi moral, etik, hukum, budaya dan karakter bangsa dan akhirnya menghancurkan negara, maka pemberantasannya tidak dapat dilakukan dengan cara-cara konvensional atau hukum konspiratif. Penindakannya mau tidak mau harus terkonsep, terintegrasi sempurna dengan hukum yang visioner.
Peradaban dan HAM
Sejarah membuktikan ketika China membangun tembok tebal dan tinggi diyakini musuh tidak dapat menyerang atau mengalahkannya, tapi kenyataannya China diserang dan dikalahkan justru bukan dengan merobohkan atau memanjat tembok, tapi cukup dengan menyogok penjaga pintu gerbang. China ketika itu terlalu sibuk dengan pembangunan tembok, tapi lupa membangun manusia yang seharusnya dilakukan sebelum pembangunan dimulai.
Kenyataan tersebut juga terjadi dengan bangsa Indonesia, kita sibuk membangun ekonomi, infrastruktur tapi membiarkan pembangunan manusia terabaikan, korupsi merajalela di segala lini kehidupan, dan lupa dengan pembangunan karakter bangsa. Ada tiga faktor penyebab hancurnya peradaban sebuah bangsa, yaitu adalah akibat hancurnya tatanan keluarga, gagalnya pendidikan, dan runtuhnya keteladanan dari para tokoh bangsa.
Pada saat para pemimpinnya lupa diri, mabuk kuasa dan uang (koruptif) adalah awal runtuhnya sebuah peradaban. Korupsi menjadi kejahatan terhadap peradaban, kalau bangsa ini memiliki karakter kebangsaan yang kuat, keteladanan, mental antikorupsi dan semangat menjadi bangsa hebat, niscaya korupsi bisa dengan mudah diberantas.
Memerhatikan pradigma di atas, dapat dikatakan bahwa kejahatan korupsi sangat berbahaya bagi sebuah bangsa dan negara, karenanya korupsi harus diberantas melalui penindakan ditangani dengan tepat, serius dan dengan pranata hukum yang visioner. Penegak hukum harus benar-benar bersih bebas dari karakter koruptif.
Menurut Jimlly, bahwa kejahatan korupsi telah berurat akar dalam keseluruhan sendi kehidupan masyarakat Indonesia, sehingga sudah melebihi dampak dan bahaya pelanggaran hak asasi manusia sehingga kejahatan korupsi dapat disetarakan dengan jenis pelanggaran hak asasi manusia yang berat (gross violation of human rights). Pelanggaran terhadap Pemenuhan Hak-hak ekonomi, social, dan budaya. Kelompok hak-hak ini berbeda dengan hak-hak sipil dan politik.
Hak-hak ekonomi, social, dan budaya secara langsung bersentuhan dengan kebutuhan masyarakat pada umumnya. Seperti: fasilitas penyediaan pangan, pendidikan, kesehatan, perumahan, dan pekerjaan yang memungkinkan bagi setiap individu anggota masyarakat di suatu wilayah, baik tingkat pusat maupun daerah untuk hidup minimal dengan layak.
Tanggung jawab pemenuhan atas hak-hak tentunya diikuti dengan mekanisme akuntabilitas negara terhadap pelaksanaan pemenuhan dan perlindungan hak-hak yang terkandung dalam hak ekonomi, sosial dan budaya pemenuhannya semestinya dilakukan berdasarkan tanggung jawab negara.
Namun, jika APBN/APBD dikorup sudah pasti menyebabkan penderitaan di kalangan masyarakat kecil, sehingga berdampak banyak kejahatan yang terjadi, seperti perampokan, penculikan, penodongan, bahkan pembunuhan. Selain itu terjadi pemiskinan, kekurangan gizi, anak-anak putus sekolah, lapangan kerja semakin kurang, dan lain-lain. Hal ini bertentangan dengan kovenan hak-hak ekonomi, social, dan budaya sekaligus merupakan pelanggaran HAM.
Menurut Allan Mc Chesnay, kegagalan dalam mengambil tindakan memenuhi kewajiban, menghentikan dan atau pembatalan pemenuhan suatu hak adalah pelanggaran terhadap kovenan hak ekonomi, social, dan budaya HAM. Fakta membuktikan, bahwa korelasi antara korupsi dengan pemenuhan hak ekonomi, social, dan budaya, khususnya hak atas pekerjaan, hak atas rasa aman bagi masyarakat, hak untuk mendapatkan standar kehidupan yang layak, hak atas kesehatan, hak pendidikan, hak atas perumahan dan hak atas lingkungan bersih dan sehat, hak untuk mengembangkan budaya yang dimiliki.
Secara signifikan sangat berpengaruh, karena ketika tindakan korupsi dilakukan pasti akan menyebabkan terhambatnya pemenuhan hak-hak tersebut di atas. Korupsi di Indonesia sudah merupakan kejahatan yang luar biasa (extra ordinary crimes). Dan apabila dihubungkan dengan HAM, khususnya pemenuhan hak-hak ekonomi sosial, dan budaya, maka tindak pidana korupsi dapat dikategorikan sebagai pelanggaran HAM berat (gross violation of human rights), dan melanggar konstitusi sebagaimana diatur dalam pasal 28B ayat (2), pasal 28C ayat (1) dan (2), pasal 28D, ayat (1), pasal 28H UUD NRI 1945, maka dibutuhkan pengaturan yang lebih spesifik yang substansi dan cara-cara pencegahan, penindakan, dan syarat-syarat pencabutan hak-hak politik koruptor perlu dipertimbangkan diatur dalam ketentuan perundang-undangan.
Kemiskinan dan Ketidakadilan
Robert Dahl menulis delapan syarat negara demokrasi, di antaranya kebebasan untuk membentuk dan berorganisasi, hak suara memilih dan dipilih, eligibilitas menduduki jabatan publik, adanya pemilu yang bebas dan adil. kemudian Alferd Stephan dan Juan J. menambahkan, adanya konstitusi yang demokratis yang menghormati kebebasan dan memberikan proteksi terhadap hak-hak minoritas.
Untuk mencapai maksud tersebut, parpol memikul tanggung jawab menjamin terwujudnya negara demokrasi yang berdasarkan Pancasila sebagaimana ditetapkan dalam UUD NKRI 1945. Pemilu menjadi sarana seleksi untuk pemimpin bersih, cerdas dan berintegritas, hadirnya kontestasi pengabdian melalui panggung politik. Hadirnya lembaga-lembaga independen menjadi ujian dan barometer keseriusan penyelenggaraan demokrasi.
KPU sebagai penyelenggara pemilu semakin teruji, independen dan profesional, terbitnya PKPU larangan bekas koruptor, kejahatan narkoba dan pelaku kejahatan seksual anak untuk mencalonkan diri sebagai anggota DPD, DPRD, DPR-RI. PKPU merupakan terobosan berani dan penarik batas moral untuk menghentikan atau setidaknya mengurangi nafsu koruptif di tengah kuatnya cengkeraman politisi busuk dalam lini kekuasaan
Berdasarkan berbagai survei menunjukkan bahwa lembaga legislatif sebagai lembaga terkorup, kemudian disusul lembaga yudikatif dan eksekutif, berbanding lurus dengan ketidakpuasan masyarakat terhadap lembaga-lembaga tersebut. Rakyat berharap putusan MA sebagai putusan yang memiliki visi social engineering, memperkuat upaya pemberantasan korupsi, membangun karakter bangsa dan peradaban yang lebih baik, sebagaimana dinyatakan hukum adalah untuk manusia bukan sebaliknya.
Hakikat keadilan menjadi nyata dalam demokrasi yang dilangsungkan melalui hukum yang mengedepankan nilai-nilai kearifan, keterbukaan dan aspiratif. Hal itu hanya dapat dicapai apabila didukung para elite yang memiliki kualifikasi bersih, bebas dari perilaku koruptif, taat hukum dan mendahulukan kepentingan bangsa dan negara.
Apabila kualitas tersebut terpenuhi, maka bangsa ini akan mampu menghadirkan kepemimpinan lokal-nasional yang kuat, sehingga tidak ada lagi model elite dalam menghadapi masalah hukum berpura-pura sakit dan menabrakkan mobil sampai benjol.
Harapan masyarakat agar MA tampil sebagai benteng pemberantasan korupsi dan kejahatan luar biasa lainnya pupus melalui putusan Majelis Hakim Agung yang menyatakan tidak sah dua peraturan KPU yang merintangi bekas narapidana koruptor untuk menjadi anggota DPR/DPD, hakim tidak menampakkan keadilan substantif untuk kemanfaatan bagi sebanyak-banyaknya orang (rakyat).
Hukum tak hanya urusan yuridis formal, tetapi juga terkait dengan harapan, hati nurani, harapan dan nilai-nilai yang hidup dan berkembang di masyarakat. Berdasarkan UU No. 48 tahun 2009 mengenai kekuasaan kehakiman, “Hakim wajib untuk menggali, mengikuti dan memahami keadilan dan nilai-nilai hukum yang tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat”.
MA dalam putusan uji materi pasal 4 ayat (3) PKPU nomor 20 tahun 2018, tentang larangan bekas narapidana kasus korupsi menjadi caleg terhadap UU nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu, telah mengabaikan UU Kekuasaan Kehakiman, dengan tidak mengikuti dan memahami keadilan dan nilai-nilai hukum serta harapan masyarakat. MA dengan putusannya lebih memaknai pendekatan yuridis normatif, dibandingkan dengan pengujian yuridis-substantif.
Penulis, Pengajar FH Warmadewa