Oleh I Wayan Sariasa
Masalah sampah di Bali, telah menjadi salah satu perhatian serius Gubenur Bali yang baru, Wayan Koster. Sebagaimana diketahui, sejak zaman old hingga zaman now, yang disebut sampah adalah barang atau segala benda yang tidak berguna bagi rumah tangga, lalu dibuang.
Sampah tersebut pada zaman old umumnya berbahan baku alami (organik) yang mudah membusuk dan tidak sulit mengurai menjadi unsur-unsurnya untuk menyatu kembali dengan alamnya Panca Mahabhuta. Juga sulit ditemukan yang namanya sampah non-organik pada zaman old seperti kantong/botol plastik yang tidak mudah terurai bahkan hingga ratusan tahun. Karena, tempat atau kemasan belanjaan rumah tangga pada zaman old umumnya berbahan baku alami dan bisa dipakai berulang-ulang kali, seperti; besek, keranjang (bakul), dan kemasan berbahan baku alami lainnya seperti daun pisang, daun jati, daun bambu dll.
Akan tetapi, zaman now, sampah non-organik sudah mendominasi ruang publik di samping sampah organik, yang berasal dari sisa hasil aktivitas individu dan atau rumah tangga yang tidak berguna dan harus dikeluarkan atau dibuang dijauhkan dari pandangan mata. Tapi ketika sampah itu menggunung di TPA-TPA dan juga berserakan di berbagai sudut ruang publik, tampak/terasa nyata jorok, tidak sedap dipandang mata, menebar bau menjijikkan, tidak menyehatkan dan menajiskan. Terlebih di Bali yang dikenal sebagai Pulau Seribu Pura, sampah dimaksud semakin men-cuntaka-kan (tidak menyucikan) tempat-tempat peribadatan umat.
Apa pun adanya, sampah memang harus hadir secara alami dalam aktivitas hidup makhluk, dan kehadirannya menjadi indikator adanya kehidupan; seperti pada proses pencernaan/metabolisme di dalam tubuh manusia. Output dari proses tersebut, selain bernilai guna bagi tubuh berupa sari-sari makanan, juga material yang tidak berguna yang disebut kotoran/sampah, baik dalam bentuk tinja (feses) maupun dalam bentuk air kemih (urine). Sebelum keluar dari tubuh, kotoran/sampah tersebut, tertampung/berproses secara alami di tempatnya yang khusus masing-masing di dalam tubuh, yakni : feses di dalam usus besar dan urine didalam kantung kemih.
Di dalam penampungannya, kotoran/sampah tersebut membusuk, tapi tidak terlihat dan tidak terbaui oleh siapa pun, tidak menjijikan bagi siapa pun, dan tidak mengganggu kesehatan diri. Kondisi ini diupayakan untuk tetap bisa terjaga oleh manusia ketika kotoran atau sampah (feses dan air kemih) tersebut sudah berada di luar dirinya.
Manusia yang kodratnya sempurna memiliki akal budi (idep) dalam tri pramana-nya yang immanent, ketika kotoran dirinya harus keluar dan berada di luar darinya, naluri perikemanusiaannya tentu beretika untuk berbuat tidak sembarangan membuang kotoran dirinya agar estetika lingkungan hidup yang sehat tetap terjaga. Dalam sejarahnya, hal itu mamang sudah dipikirkan dan disadari oleh manusia sejak zaman Romawi Kuno, yakni menyalurkan kotoran diri ke tempat khusus yang tidak terlihat dan tidak terbaui oleh orang lain serta tidak mengganggu kesehatan lingkungan, hingga akhirnya kini kita mengenal yang namanya water closet (WC). Dan WC itulah menjadi tempat yang bernilai etik bagi kotoran diri manusia yang arsitekturnya dibuat sedemikian rupa sehingga kotoran/sampah manusia secara alami bisa berproses untuk menyatu kembali kepada unsur-unsurnya di alam Panca Mahabhuta.
Beda dengan binatang yang kodratnya tanpa idep dalam dwi prama-nya, dan ketika kotoran dirinya harus keluar secara alami, hal itu akan dikeluarkannya begitu saja dengan sembarangan di mana tempat tanpa harus beretika dan tanpa harus peduli terhadap kesehatan dan estetika lingkungan hidup. Manusia dengan idep yang melekat pada dirinya, tentu tidak mau berperilaku seperti binatang, khususnya yang terkait dengan kotoran dirinya.
Karenanya pada zaman now, konsep WC harus dipandang tidak hanya sebagai tempat penampungan feses dan air kemih, tapi juga bisa diejawantahkan dan dikembangkan (diakulturasikan) menjadi budaya untuk menampung sampah rumah tangga yang beretika di masing-masing rumah tangga. Dengan begitu langsung ataupun tidak langsung akan berdampak pada tetap terjaganya lingkungan hidup yang estetik dan menyehatkan, yang semua ini tentu berangkat dari diri yang berjiwa dan berhati bersih, “mens sana in corpora sano” dalam bahasa Latinnya.
Penulis, pemerhati budaya Bali