Oleh Agung Kresna
International Monetary Fund – World Bank Annual Meeting 2018 yang dihelat di Bali merupakan ajang promosi gratis di semua sektor bagi Bali. Kehadiran para delegasi dalam pertemuan tersebut tentu akan menjadi saksi mata atas kondisi Bali yang sebenarnya. Semua yang mereka lihat dan rasakan di Bali akan terekam dalam benak setiap delegasi. Pada gilirannya, informasi tersebut akan mereka sebarkan, positif maupun negatif.
Jumlah peserta yang dipastikan datang disebut mendekati angka 32.000 orang, menjadikan pertemuan IMF-WB di Bali kali ini sebagai pertemuan terbesar sepanjang yang pernah ada, seperti diungkap Meetings Team Secretariat (MTS) IMF-WB, (Bali Post, 5/10). Lebih dari 15.000 delegasi asal 189 negara peserta pertemuan tahunan IMF-WB tersebut merupakan para petinggi bidang moneter di negara masing-masing.
Bahkan disebutkan akan hadir juga 19 kepala negara dari ASEAN dan negara lain yang merangkap menjadi menteri keuangan. Mereka semua akan menjadi “agen informasi” tentang Indonesia, dan khususnya tentang Bali. Mengingat posisi penting mereka di negaranya, tentu apa yang mereka saksikan dan alami di Bali bisa menjadi dasar kebijakan ekonomi negaranya yang terkait dengan Indonesia, atau bahkan dengan Bali. Hal ini tentu merupakan potensi ekonomi yang luar biasa bagi Bali.
Belum lagi 2.500 jurnalis dari seluruh penjuru dunia akan menjadi saksi mata melalui peliputan yang mereka lakukan. Tentu ini bukan jumlah yang sedikit untuk suatu peliputan pada sebuah perhelatan ekonomi dunia. Laporan jurnalisme mereka tentu akan banyak memberi pengaruh kepada para penentu kebijakan ekonomi di seluruh dunia. Jika para jurnalis melihat hal positif tentang Bali, tentu akan muncul dampak positif bagi ekonomi Bali pada masa depan. Namun sebaliknya, jika yang mereka saksikan dan liput ternyata banyak yang bernuansa negatif secara ekonomi, tentu hal ini menjadi promosi buruk bagi Bali dan Indonesia.
Ajang Promosi Bali
Investasi di Bali memang masih menunjukkan realitas angka yang kurang menggembirakan. Itu pun lebih dominan di sektor tersier (utamanya investasi di bidang industri pariwisata) dibanding sektor sekunder, apalagi sektor primer, Bali yang memiliki kekayaan warisan budaya luar biasa, pada hakikatnya justru memiliki modal sosial sangat kuat dalam menghadapi arus ekonomi modern yang sedang berlangsung secara global. Budaya tradisional yang selama ini dianggap identik dengan Bali, sudah seharusnya dapat digali potensinya sehingga menjadi sumber daya ekonomi yang kuat bagi Bali.
Perhelatan pertemuan tahunan IMF-WB 2018 di Bali dapat menjadi etalase bagi promosi Bali dalam meningkatkan investasi di Bali. Ada harapan penambahan angka pertumbuhan ekonomi sebesar 0,54 persen bagi Bali. Kesiapan segenap krama Bali menjadi kata kunci agar harapan ini bisa terwujud. Sebagaimana sebuah etalase, maka Bali harus dapat menampilkan diri sebagai entitas yang menarik dan mengundang delegasi untuk ikut terlibat dalam pembangunan ekonomi Bali pada masa yang akan datang.
Setiap pembangunan ekonomi Bali harus menciptakan pertumbuhan kesejahteraan bagi krama Bali. Hal ini juga harus disertai dengan lahirnya perubahan struktur ekonomi masyarakat itu sendiri. Tanpa munculnya perubahan budaya dan struktur sosial krama Bali, maka pembangunan ekonomi sekadar menghasilkan peningkatan pendapatan. Pada prinsipnya, pembangunan ekonomi tidak boleh mengabaikan kondisi sosial-budaya krama Bali.
Promosi Bali harus dapat tercipta dalam side-event di sela-sela kegiatan utama dalam IMF – WB Annual Meeting 2018 kali ini. Perhelatan ini menjadi arena promosi yang murah bagi Bali. Tanpa harus melakukan kegiatan promosi ke seluruh dunia, para perwakilan dari banyak negara justru hadir langsung di Bali untuk dapat melihat potensi dan daya tarik yang dimiliki Pulau Dewata ini.
Namun perlu juga diingat, bahwa pembangunan ekonomi Bali harus dibangun dengan landasan budaya krama Bali. Tidak boleh dibangun dengan teori ekonomi Barat semata. Ada beberapa catatan dalam optimalisasi pertemuan tahunan IMF-WB sebagai ajang promosi bagi ekonomi Bali. Diperlukan kehati-hatian dalam tindak optimalisasi ini, karena jika salah dalam menentukan langkah promosi, maka pembangunan ekonomi Bali justru dapat memberi dampak buruk bagi alam dan budaya Bali.
Sebagai tuan rumah, maka segenap krama Bali yang terlibat harus dapat menampilkan sikap sosial-komunal yang menjadi jati diri krama Bali. Meski event-organizer dalam perhelatan kali ini bukan dari lokal Bali, namun para stakeholders krama Bali sebagai tuan rumah memiliki kesempatan lebih untuk berhadapan langsung dengan berbagai delegasi dari seluruh penjuru dunia.
Krama Bali harus dapat menunjukkan hospitality dengan pola ekonomi fair trade yang dijalaninya. Pola jaringan bisnis yang berlandaskan asas simbiois mutualisme ini memiliki tingkat keamanan investasi yang cukup tinggi. Karena ada kandungan kemitraan yang kuat di antara pelaku ekonominya.
Bali harus berpromosi dengan mengedepankan potensi budaya dan tradisi krama Bali di berbagai kesempatan dalam perhelatan ini. Bali mendapat julukan Pulau Dewata karena memiliki keelokan tradisi budaya serta bentang alam yang memesona para wisatawan dari seluruh penjuru dunia. Inilah yang harus ditunjukkan sebagai potensi ekonomi Bali sepanjang masa. Investasi yang direalisaikan di Bali tidak boleh mereduksi potensi utama yang sudah dimiliki segenap krama Bali.
Ekonomi dan budaya Bali harus dibangun secara beriringan. Kearifan lokal (local genius) krama Bali merupakan modal sosial cukup besar dalam membangun ekonomi Bali dengan berlandaskan filosofi keseimbangan Tri Hita Karana. Semua dengan nuansa karakter khas Bali. Model ini diperlukan dalam membangun perekonomian Bali yang berkarakter kemitraan.
Kehadiran para petinggi moneter dunia di Bali dalam ajang pertemuan tahunan IMF-WB 2018 merupakan berkah bagi promosi Bali. Sebagaimana adagium yang ada dalam dunia pariwisata, para delegasi akan melakukan something to see, to buy dan to do. Mereka akan melihat dan merasakan secara langsung, apa yang sebenarnya berlangsung di Bali khususnya maupun di Indonesia pada umumnya. Sehingga bagi Bali hal ini seakan merupakan pertaruhan. Jika para delegasi menikmati hospitality segenap krama Bali, niscaya nilai positif akan disematkan pada ekonomi Bali; demikian pula sebaliknya.
Penulis Arsitek, Senior Researcher pada Centre of Culture & Urban Studies (CoCUS) Bali, tinggal di Denpasar