MANGUPURA, BALIPOST.com – Indonesia, negara yang dijuluki “supermarket bencana alam” karena kerap terjadi bencana alam mengalami kerugian material yang tidak sedikit karena bencana. Berdasarkan data Rencana Nasional Penanggulangan Bencana (Renas PB), rata-rata nilai kerugian ekonomi langsung berupa kerusakan bangunan dan non bangunan akibat multi bencana yang dialami Indonesia dari tahun 2000 – 2016 mencapai Rp 22,85 triliun per tahunnnya.
Wakil Presiden Yusuf Kalla mengatakan, bencana akan selalu datang tanpa diduga dan akan banyak menyebabkan kerusakan, sehingga tentunya membebankan negara dan pemerintah daerah tersebut. “Maka kita harus punya perhatian sebelum dan setelah bencana seperti yang dilakukan di banyak negara,” ujarnya saat high level dialogue on Disaster Risk Financing and Insurance in Indonesia: The National Strategy to Build Fiscal Resilience, Rabu (10/10) di Mangupura Room, BICC, Nusa Dua.
Setelah bencana besar yang dialami di Aceh, Indonesia membentuk Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Lembanga ini dibuat untuk memitigasi dan menangani saat bencana dan setelah bencana. Masalah yang dihadapi Indonesia yaitu apabila semua bencana itu, baik rehabilitasi, rekonstruksi dibiayai APBN, negara akan keseulitan untuk mempersiapkan segalanya.
Solusinya adalah persiapan dan memberikan kesadaran serta melaksanakan apa yang dapat dilakukan. “Memang tidak mudah untuk menyakinkan seluruh masyarakat juga pemerintah,” ujarnya.
Selama ini aset–aset negara itu dibuat tanpa suatu perlindungan risiko fiskal akibat bencana. “Kalau jembatan rusak ya rusak diganti lagi, kalau Gedung pemerintah rusak ya diganti lagi. Semua menjadi beban APBN. Tentu kita tidak ingin semua menjadi bagian daripada beban APBN. Kita juga tidak mau tergantung terus menerus dari bantuan luar negeri,” pungkasnya.
Untuk itu, ia mengatakan perlu partisipasi masyarakat, juga jaminan masa depan yang panjang, perlu asuransi untuk aset negara karena selama ini belum ada suatu aturan terkait aset pemerintah diasuransikan serta meyakinkan masyarakat untuk selalu melihat masa depan ketika ada bencana. Sehingga masyarakat dapat memikirkan mitigasinya.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, selama ini pemerintah hanya mengandalkan pendanaan bencana utamanya dari APBN untuk menanggung semua kerugian akibat bencana. Ketergantungan tersebut memiliki risiko bila frekuensi dan dampak bencana yang terjadi melampaui alokasi dana bencana mengingat belanja APBN sudah terikat dan dialokasikan untuk membiayai pos-pos belanja rutin dan wajib seperti belanja untuk pendidikan, kesehatan, dan transfer ke daerah.
Menyadari risiko yang tinggi bila tergantung semata kepada APBN, pemerintah memutuskan untuk mencari solusi dan inovasi keuangan yang mampu memberikan alternatif pendanaan untuk membantu APBN dalam pembiayaan bencana. Berbagai solusi dan inovasi tersebut tercermin dalam strategi pembiayaan dan asuransi risiko bencana.
Dalam menyusun strategi ini, ia melakukan diskusi dan konsultasi yang intensif dengan para pemangku kepentingan terkait. Beberapa agenda utama yang didiskusikan adalah penelaahan model, dasar hukum dan juga tantangan dari skema pembiayaan yang selama ini pemerintah lakukan.
Selain itu juga melakukan identifikasi berbagai bencana yang pernah terjadi, lokasi kejadiannya dan skenario yang akan terjadi apabila Indonesia kembali mengalami kejadian bencana besar. Ketiga, pemerintah memutuskan prioritas pihak dan objek yang harus dilindungi serta bagaimana pemangku kepentingan dapat dilibatkan secara optimal dalam pembiayaan risiko bencana.
Pemerintah menilai perlindungan atas masyarakat yang berpotensi terdampak bencana, khususnya mereka yang rentan secara ekonomi adalah prioritas utama. Selanjutnya, aset-aset negara yang menunjang pelayanan publik seperti jalan, jembatan, rumah sakit, sekolah, pelabuhan juga harus dapat dibangun kembali dengan lebih baik dan tepat waktu setelah mengalami kerusakan akibat bencana. Pemerintah harus juga memikirkan kerjasama pemerintah pusat dengan pemerintah daerah dan swasta. (Citta Maya/balipost)