Tertibkan KUPVA Ilegal
Ilustrasi. (BP/dok)

Oleh GPB Suka Arjawa

Mengatakan Bali akan lebih terkenal jika pertemuan IMF dan Bank Dunia diselenggarakan di Bali, mungkin tidak terlalu benar. Konon Bali sudah dikenal di dunia melebihi Indonesia sekalipun. Tetapi menyebutkan Denpasar dan Badung bertambah macet akibat pertemuan ini, kemungkinan besar benar.

Mahasiswa dan anak-anak sekolah harus libur semata-mata demi pertemuan dunia ini. Bisa jadi juga “terowongan” Tuban dan Garuda Wisnu Kencana cepat-cepat diluluskan, disebabkan oleh perhelatan dunia seperti ini. Memang kemudian harus diakui sorotan dunia langsung ke Bali sebagai akibat dari adanya pertemuan ini.

Namun, yang seharusnya lebih dipentingkan adalah semakin tereksposnya bencana alam yang terjadi di Palu dan Donggala ke berbagai penjuru dunia akibat dari event IMF ini. Bertepataan dengan pertemuan IMF-Bank Dunia, Situbondo ternyata juga dilanda gempa dengan berkekuatan cukup besar, 6,3 skala richter.

Bukan hendak meminta untuk diperhatikan semata-mata karena adanya bencana alam, tetapi pertemuan ini justru mampu memberikan pembelajaran kepada berbagai pihak soal kebencanaan di bumi. Sebagai sebuah lembaga donor dan “dimiliki” oleh negara-negara (Barat) maju, International Monetary Fund dan Bank Dunia memang kemudian memberikan kesempatan bagi lembaga ini untuk belajar juga kepada negara berkembang dan negara berkembang belajar kepada negara maju.

Apa yang harus dipelajari dari konteks ini? Dari konteks sejarahnya, IMF dan Bank Dunia memang dibangun secara umum tujuannya untuk saling membantu kesetaraan keuangan dan pertumbuhan ekonomi antara negara-negara di dunia. Pertemuan Bretton Woods tahun 1944 antara negara maju (Amerika Serikat dan Inggris) melahirkan IMF dan Bank Dunia, termasuk juga Organisasi Perdagangan Internasional.

Efek kemerosotan ekonomi negara-negara di dunia akibat perang dunia II, membuat negara-negara ini melakukan pertemuan dan membuat kesepakatan untuk membantu pertumbuhan ekonomi, pembangunan nasional termasuk kestabilan neraca keuangan negara-negara di dunia dengan cara memberikan bantuan kredit keuangan berjangka. Sampai kini anggota IMF sebanyak 189 negara, termasuk Indonesia.

Baca juga:  IMF-WB Sukses Berkat Sinergitas dan Soliditas TNI-Polri

Ada kontroversial di dalam tujuan dan penerapan bantuan dari lembaga tersebut kepada negara-negara lain di dunia, dan inilah yang menjadi persoalan bagi negara-negara di dunia, terutama negara-negara yang sedang berkembang. Dana Moneter Internasional (IMF) memberikan bantuan keuangan dengan jangka waktu menengah dan jangka pendek.

Bank Dunia lebih fokus dalam memberikan bantuan lunak jangka panjang dengan tujuan untuk mengentaskan kemiskinan. Bank Dunia misalnya memberikan bantuan untuk membangun pusat kesehatan masyarakat, pengembangan listrik, penanggulangan penyakit, pelestarian lingkungan dan sejenisnya. Tetapi harus diingat, pada awalnya dibentuk institusi IMF dan Bank Dunia ini adalah untuk membantu pembangunan negara-negara Eropa yang hancur karena Perang Dunia II. Ini boleh dikatakan sebagai kontroversi pertama dari terbentuknya lembaga ini.

Tidak boleh dilupakan juga bahwa pelopor pertama dari lahirnya lembaga ini adalah Amerika Serikat dan Inggris. Selanjutnya, hingga sekarang donator dari lembaga internasional ini adalah negara-negara Barat dengan kemampuan ekonomi tinggi, seperti Amerika Serikat, Inggris, Kanada, Jerman, dan Prancis, di mana donatur utamanya adalah Amerika Serikat.

Fakta ini boleh dikatakan sebagai kontroversi kedua dari dua lembaga tersebut. Dan kontroversi ketiga dalam memberikan bantuan keuangannya, baik jangka menengah maupun jangka panjang, negara-negara donator tersebut (dan tentu Amerika Serikat) berwenang untuk menentukan kebijakan-kebijakan mana yang harus dibangun di negara yang hendak dibantu. Artinya, kebijakan pembangunan negara-negara terbantu (misalnya Indonesia) akan ditentukan oleh negara-negara donor tersebut (“pemilik” Bank Dunia dan IMF), dan Amerika Serikat kemungkinan akan meminta porsi paling besar dalam menentukan porsi pembangunan tersebut.

Baca juga:  Seni Menyingkap Realitas

Bisa dibayangkan, bagaimana jauhnya nilai-nilai pembangunan di negara-negara berkembang yang meminta bantuan, apabila kemudian nilai bantuan tersebut ditentukan oleh negara-negara pendonor IMF dan Bank Dunia tersebut! Ini kemudian menjadi kontroversi keempat apabila negara terbantu ini berasal dari negara-negara berkembang. Dasar nilai ideologis pembangunan dari negara-negara pemberi bantuan adalah ekonomi liberal-kapitalis, dan dengan dasar inilah mereka mampu bergerak maju.

Sedangkan dasar nilai ekonomi dan pembangunan dari negara-negara berkembang belum tentu kapitalis-liberal. Indonesia misalnya, bukanlah negara kapitalis-liberal dalam pembangunan ekonomi. Indonesia mengenal ekonomi Pancasila, ekonomi gotong-royong atau ekonomi koperasi.

Jika misalnya nilai-nilai pembangunan ekonomi seperti ini “ditabrakkan” dengan nilai ekonomi liberal, maka akan mampu mengacaukan pembangunan ekonomi negara-negara terbantu (misalnya Indonesia). Masyarakat yang biasa mengayuh sepeda dilombakan dengan masyarakat yang biasa mengendarai mobil bahkan pesawat, jelas kalah dan semua pencapaian pembangunannya pasti akan didapatkan oleh mereka yang mengendarai mobil.

Maka dari konteks itulah pertemuan IMF dan Bank Dunia yang berlangsung di Bali ini harus mampu memberikan pembelajaran kepada kedua belah pihak. Jelas memang harus disadari, bahwa ekonomi dan bisnis mempunyai tujuan mencari keuntungan maksimal. Tetapi dalam melihat pembangunan di negara-negara berkembang, konteks sosial negara bersangkutan haruslah dipelajari oleh negara pendonor. Pertemuan IMF-Bank Dunia di Bali memberikan kesempatan kepada negara-negara donor dua lembaga tersebut untk melihat fakta nyata bagaimana kehidupan di negara berkembang.

Baca juga:  Di Depan Pagar Ekonomi Pandemi

Mungkin wisata bagi peserta pertemuan IMF-Bank Dunia di Jimbaran ini haruslah juga diberikan kesempatan untuk melihat kemiskinan di balik pembangunan yang ada di Bali (Indonesia). Mumpung melakukan tempat pertemuan di Bukit, wilayah ini ada pemandangan controversial juga. Di balik demikian menterengnya pembangunan hotel di Bukit, masih terdapat cukup kemiskinan di wilayah ini. Atau yang lebih seksi, ajak mereka berwisata ke Kintamani sambil melihat kondisi desa di wilayah-wilayah pegunungan di daerah tersebut.

Berikan anggota delegasi itu menilai sendiri bagaimana kondisi desa di negara berkembang. Sesungguhnya tidak keliru juga kalau mereka diberikan suguhan kemacetan di Denpasar dan Badung. Kemacetan ini identik dengan kemacetan di Jakarta (bahkan lebih parah). Dalam konteks lokal, berikan mereka pengetahuan bagaimana pembangunan bale banjar di Bali.

Sekarang banyak bale banjar yang kuat-kuat dirobohkan semata-mata untuk membangun kembali yang baru karena mendapat bantuan pembangunan ratusan, juga bahkan miliaran rupiah. Meski fasad bale banjarnya baru, tetapi tidak diketahui apakah fondasinya kuat atau tidak dari sebelumnya. Beri pengetahuan juga para delegasi tentang berapa jumlah biaya yang dihabiskan masyarakat untuk upacara ngaben, terutama di kalangan feodal.

Tujuan itu semua tidak lain agar negara-negara pendonor tahu lebih banyak tentang kondisi sosial dan budaya negara berkembang, sehingga dalam memberikan bantuan menjadi jauh lebih lunak. Sebaliknya, bagi negara berkembang yang meminta bantuan, mampu melakukan negosiasi secara lebih riil dan masuk akal berdasarkan sosial budaya. Akibat gempa yang terjadi di Indonesia seharusnya juga mampu memberikan mereka pengetahuan untuk merenung.

Penulis, staf pengajar Sosiologi FISIP, Universitas Udayana

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *