DENPASAR, BALIPOST.com – Tiongkok kini mendominasi angka kunjungan wisatawan ke Bali. Namun, tingginya angka kunjungan wisatawan Tiongkok justru dibumbui kabar tak sedap. Pasalnya, muncul dugaan Bali telah dijual murah di negeri tirai bambu. Hal ini bahkan diungkapkan langsung oleh sejumlah tokoh pariwisata yang selama ini khusus menangani wisatawan Tiongkok.
“Kasarnya gini ya, Bali itu dijual sangat murah di Tiongkok oleh agen-agen tertentu. Sangat murah, bahkan semakin berlomba untuk lebih murah,” ungkap Ketua Divisi Bali Liang (Pangsa Pasar Mandarin) Asita Bali, Elsye Deliana di Denpasar, Minggu (14/10).
Menurut Elsye, praktek jual murah itu sudah berlangsung sejak 2-3 tahun terakhir. Diduga ada permainan mafia yang tentunya sangat merugikan Bali. Data setahun terakhir, Bali hanya “dijual” seharga 999 renminbi atau sekitar Rp 2 juta. Harga miring tersebut sudah termasuk tiket pesawat pergi-pulang, makan dan menginap di hotel selama 5 hari 4 malam.
Belakangan, harga itu bahkan sudah turun menjadi 777 renminbi atau sekitar Rp 1,5 juta. Lalu turun lagi menjadi 499 renminbi atau sekitar Rp 1 juta dan yang teranyar 299 renminbi atau sekitar Rp 600 ribu. “Coba dipikir, dengan Rp 600 ribu bisa dapat tiket ke Bali dan balik lagi ke Tiongkok. Dapat makan dan hotel selama 5 hari 4 malam. Jadi kualitasnya seperti apa,” keluh perempuan yang akrab disapa Meilan ini.
Elsye menyebutnya sebagai perjalanan berbiaya murah atau zero tour fee. Pihaknya mempertanyakan mengapa harga serendah itu bisa sampai muncul. Ditambah lagi, wisatawan Tiongkok hanya satu hari saja diajak berkunjung ke objek wisata selama di Bali. Itupun dipilih yang murah, seperti Uluwatu. Selebihnya, mereka diajak keluar masuk artshop milik pengusaha Tiongkok pula. Toko-toko inilah yang disebut mensubsidi wisatawan Tiongkok sehingga mendapat harga murah untuk datang ke Bali.
“Namun, wisatawan wajib masuk ke toko-toko itu dan membeli barang-barang disana,” imbuhnya.
Wakil Ketua Bali Liang, Bambang Putra mengatakan, artshop-artshop milik pengusaha Tiongkok itu justru tidak menjual barang-barang kerajinan khas Bali. Tapi malah menjajakan barang-barang berbahan latex seperti kasur, sofa, dan bantal.
“Alasannya, Indonesia penghasil karet sehingga barangnya jauh lebih murah. Padahal, barang itu sebenarnya barang buatan Tiongkok juga. Ada juga toko sutra dan lainnya,” ujarnya.
Bambang menambahkan, pola pembayaran di toko-toko tersebut diduga memakai aplikasi WeChat dengan sistem scan barcode. Dengan kata lain, uang yang masuk dari wisatawan Tiongkok kembali lagi ke Tiongkok. Tentu Bali tidak mendapatkan keuntungan apapun, dan parahnya hanya menerima sampahnya saja. Namun lebih dari itu, dampak yang paling signifikan merugikan Bali tentu wisatawan yang merasa tertipu.
“Mereka ke Bali, tapi tidak tahu Bali. Bagi mereka, Bali itu tidak menarik. Isinya hanya toko-toko yang menjual latex karena Indonesia penghasil karet, sehingga mereka tidak akan kembali lagi,” jelasnya.
Sekretaris Bali Liang (Komite Tiongkok Nasional), Herman juga menyebut masalah lain yakni keberadaan guide illegal, travel agent illegal, fotografer prawedding dari Tiongkok yang menggunakan visa wisata namun bekerja, hingga tenaga kerja di toko-toko jaringan Tiongkok yang tidak memegang visa kerja. Pemerintah harus menuntaskan masalah ini, seperti halnya yang dilakukan pemerintah Thailand dan Vietnam dengan masalah serupa.
“Di Thailand, wisatawan Tiongkok tidak diberikan masuk jika tidak membawa uang sekitar Rp 5 juta dalam rekening,” ujarnya diiyakan Komite Tiongkok Nasional, Chandra Salim.
Ketua Komite Tiongkok DPP Asita, Herry Sudiarto menambahkan, pemerintah mesti berani mengambil tindakan tegas untuk menjaga Bali kedepannya. “Jika dibiarkan seperti ini, jelas akan semakin parah kedepannya. Mesti dibuatkan regulasi yang kuat, untuk bisa melindungi yang legal dan menertibkan yang illegal,” pungkasnya. (rindra/balipost)