Tini Rusmini Gorda. (BP/dok)

DENPASAR, BALIPOST.com – Partai politik (parpol) tidak bisa menjadi peserta pemilu jika tidak menyertakan 30 persen calon legislatif (caleg) perempuan. Namun, caleg perempuan hingga sekarang justru hanya sekedar untuk memenuhi persyaratan itu.

Kalau pun ada yang lolos mendapatkan kursi dewan, jumlahnya terbilang sedikit. Mereka pun kerap “membisu” alias tak banyak menyuarakan program atau kebijakan yang merepresentasikan legislatif perempuan. “Sebenarnya dari amanat Undang-undang 30 persen, harusnya parpol itu mengapresiasi. Tanpa 30 persen kan parpol tidak boleh ikut pemilu. Harusnya itu menjadi dasar bagaimana keseriusan dari parpol untuk bisa mengawal  30 persen itu sampai di legislatif, bukan hanya sekedar persyaratan bisa ikut Pemilu,” ujar Ketua BKOW Provinsi Bali, Dr. AAA. Ngr. Tini Rusmini Gorda, SH.,MM.,MH., di Denpasar, Minggu (14/10).

Sejak 2009, lanjut Tini Gorda, keterwakilan perempuan hingga 30 persen di legislatif masih berjalan terlalu lambat. BKOW yang mewadahi 26 organisasi mempunyai tanggung jawab untuk mengantarkan para caleg perempuan duduk di kursi dewan.

Baca juga:  Caleg Terpilih Harus Mundur Bila Maju Pilkada 2024

Pada Pemilu Legislatif 2019, 15 persen dari anggota legislatif di Bali minimal harus perempuan. Lebih bagus lagi jika bisa memenuhi kuota 30 persen. Tak cukup sampai di situ, pihaknya juga akan mempersiapkan para caleg perempuan agar kelak dapat bersuara saat duduk menjadi legislatif. “Berdasarkan pengalaman sampai 2014, wakil perempuan di legislatif agak kurang bisa bicara. Membisu dalam tanda kutip. Tidak ada program-program atau kebijakan yang bisa diambil secara signifikan untuk bisa merepresentasikan ini perempuan legislatif,” jelasnya.

Menurut Tini, memang ada beberapa faktor yang menyebabkan hal itu. Sesuai hasil pendataan BKOW, legislatif perempuan kerap “membisu” karena minimnya pengetahuan tentang isu-isu strategis dan kurangnya pemahaman tentang fungsi-fungsi legislatif.

Baca juga:  Geopark Development to Increase Economics Level

Oleh karena itu, caleg perempuan membutuhkan pendidikan dan pelatihan (diklat) untuk memperbaiki SDM-nya. Dengan harapan, mereka dapat bersuara dan memberikan kebijakan sehingga masalah-masalah perempuan dan anak khususnya dapat terselesaikan dengan baik.

BKOW menginisiasi diklat untuk caleg perempuan pada 17 hingga 23 Oktober mendatang.
“Kegiatannya satu minggu full. Kita ambil momentum Pagerwesi (17 Oktober, red) karena berusaha memberikan pagar yang kuat bagi perempuan dari segi intelektual, spiritual, dan emosionalnya, karena memang banyak sekali materi yang diberikan,” jelas putri tokoh pendidikan di Bali, (alm) Prof. Gorda ini.

Para caleg perempuan, lanjut Tini, akan diberikan pemahaman tentang apa itu politik, strategi pemenangan, konsep atau formula yang harus dipakai, hingga personality. Sebab, cantik tidak harus dengan make up tebal.

Baca juga:  Berdalih Pinjam Charger, Perempuan Paruh Baya Curi Uang di Mesin Kasir 

Tapi bagaimana personality, gestur tubuh, public speaking dan komunikasi politiknya. Para peserta juga akan diajak mengunjungi DPR RI, Mahkamah Konstitusi, dan KPK. “Selain tahu apa yang harus dilakukan di legislatif,  dia tidak boleh bersentuhan dengan hukum. Makanya kami akan bawa ke MK. Kalau bersentuhan dengan hukum kan ke KPK jadinya. Makanya kita ajak langsung ke lembaga itu dan berdiskusi disana,” paparnya.

Tini Gorda melanjutkan, para peserta akan didaulat pula untuk mengikuti lomba orasi pada 30 November mendatang. Mereka akan menyampaikan visi dan misinya. Selain didebat para juri, mereka juga akan didebat para pemilih milenial dan ibu-ibu. “Jadi kami siapkan suara-suara yang akan memilih mereka,” tandasnya. (Rindra Devita/balipost)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *