Ilustrasi. (BP/dok)

Oleh Dr. Ni Made Ratminingsih, M.A.

Kata ibu adalah kata keramat, karena tanpa ibu kita tidak pernah ada di dunia, dan dari ibu pula terlahir manusia-manusia yang akan membawa keberlangsungan dunia dan kehidupan. Keluarga, bangsa, dan negara dibangun oleh mereka yang terlahir dari rahim seorang ibu. Begitu dalam dan mulia makna seorang ibu dengan jasa besar mereka, kemudian tercetus ungkapan “sorga ada di telapak kaki ibu”, yang artinya siapapun yang tidak sujud dan hormat kepada sosok bernama ibu, maka mereka tidak akan mendapatkan kebahagiaan di dunia maupun di akhirat.

Namun sebaliknya, bila manusia yang terlahir dari rahim ibu menyayangi, mengasihi, dan menghormatinya, maka dapat dipastikan akan mendapatkan sorga itu. Begitu besar dan tinggi nilai seorang ibu, dan karenanya sosok seorang ibu adalah sosok yang dihormati, ditinggikan martabatnya, dimuliakan, dan bahkan diberikan tempat istimewa oleh Tuhan.

Namun belakangan ini, sosok ibu menjadi sorotan publik, berita panas dan fenomenal. Karena dari seorang sosok ibu yang mestinya bersikap dan berperilaku memberikan model dan menjadi suri tauladan, justru sangat kontroversial, yakni memunculkan sifat-sifat yang tidak mencerminkan karakter seorang ibu. Ibu yang rela melakukan sebuah kebohongan besar, penyebar berita hoax dan fitnah, yang sampai membuat bukannya keluarga kecil yang bermasalah, melainkan mengacaukan masyarakat dan terlebih sebuah negara “dipermainkan” oleh perilakunya yang tidak senonoh.

Baca juga:  Dialog Media : Masa Depan Pascaterbitnya Perpres Publisher Rights

Pantaskah ibu seperti ini diberikan ungkapan sorga ada di telapak kakinya? Betapa tidak masuk akalnya seorang ibu yang selalu mengajarkan dan mendidik semua anak-anaknya untuk menjadi manusia yang berkarakter baik, kok dengan sengaja dan terencana mempublikasikan ketidakbenaran dengan cara-cara yang super keji.

Bukannya semakin uzur belajar untuk menjadi semakin bijaksana, tetapi sebaliknya memupuk kejahatan. Ajaran apa yang ingin ditularkan kecuali sensasi. Banyak orang mungkin sudah menduga-duga dan berspekulasi, apakah alasan di balik semua itu.

Alasannya mungkin untuk menjelekkan dan menjatuhkan orang melalui sebuah akting dianiaya, padahal kasusnya operasi plastik yang kemudian direkayasa isunya menjadi sebuah penganiayaan. Meski belakangan akhirnya mengaku salah dan meminta maaf, kasus yang dilakukan ini tentu tidak bisa dibilang remeh-temeh, karena di balik peristiwa tersebut tersembunyi perencanaan matang, yakni menghancurkan reputasi seseorang. Lalu siapa pihak yang ingin dijatuhkan dan dihancurkan dengan cara-cara keji tersebut?

Pertanyaan ini kita perlu tunggu jawabannya dari para penegak aturan dan kebenaran untuk menindaklanjuti. Sosok ibu ini tentu harus bertanggung jawab di depan hukum dengan pilihan sikap dan perilakunya.

Hanya saja, sebagai sesama ibu penulis bersimpati dan berempati dengan kelakuannya. Adakah dia gangguan mental yang menyebabkan dia melakukan hal itu, atau memang karena kepiawaiannya berakting? Tentu juga ada misi terselubung?

Tulisan ini tidak ditujukan untuk berspekulasi, apalagi menghubung-hubungkannya ke ranah politis. Namun, lebih pada refleksi akan makna mulia dan terhormat kata ibu tersebut. Sejak dalam kandungan selama 9 bulan, ibu yang selalu memberikan asupan gizi ke perutnya agar janin bertumbuh dan berkembang, selalu mengelus perutnya dengan kasih sayang dan mengajarkan hal-hal baik, dan kemudian setelah lahir juga dengan kasih sayangnya membimbing kita menuju pada semua kebaikan. Maka sosok ibu adalah sosok pengajar nilai-nilai karakter yang sangat mumpuni, bukan sebaliknya.

Baca juga:  Siswa dan Perilaku “Deviant”

Ibu yang kita agungkan karena keluhuran budinya mengajarkan kasih sayang kepada sesama manusia, hormat kepada orang lain. Sejak kecil kita didik bila ada orang datang harus menyapa dengan hormat, meski mungkin orang tersebut berbeda agama dan keyakinan dengan kita.

Dari ibu pula kita diajarkan sikap-sikap lainnya, seperti kejujuran. Jujur mengandung arti mengatakan sebuah kebenaran. Dari hal-hal yang paling kecil, anak dilatih untuk jujur dalam mengekspresikan berbagai pendapat yang berisikan fakta-fakta yang benar, bukan malah kebohongan dan fitnah.

Kejujuran merupakan sebuah fondasi besar bukan saja bagi tatanan sebuah keluarga harmonis, tetapi juga sebuah negara yang damai dan rukun. Betapa tidak, bila sebuah keluarga dipenuhi dengan kebohongan, apalagi seorang ibu yang berbohong, maka sudah pasti anggota keluarganya semua yang dilahirkan, yang notabene masih memerlukan bimbingan, arahan, dan pendidikan nilai-nilai kebaikan, dapat terbentuk menjadi orang-orang yang juga suka berbohong.

Jurang kehancuran sebuah keluarga adalah bila tidak adanya kejujuran atau transparansi di antara mereka. Banyak kasus tentang keluarga yang broken home dimulai dari ketidakjujuran.

Baca juga:  Jenazah Ibu Bupati Badung Dititipkan di RSUD Badung

Pun halnya dengan negara, negara adalah tataran keluarga yang paling besar dalam sebuah bangsa. Bangsa yang besar dan hebat terdiri atas keluarga-keluarga yang hebat. Hebat yang dimaksudkan di sini tentu mereka yang menjadikan nilai karakter yang luhur menjadi fondasi dalam setiap sendi kehidupannya, untuk menjadikan negara ini tumbuh dan berkembang dan bisa berkompetisi dengan negara-negara lain.

Dari mana pendidikan karakter tersebut dimulai? Sudah tentu dari rumah yang ditularkan melalui contoh-contoh nyata oleh orangtua, salah satunya adalah ibu yang melahirkan. Itu makanya keluarga merupakan pendidikan pertama dan utama, karena keluarga memegang peran sentral untuk memberikan pendidikan karakter mulia kepada anak-anak yang menjadi bagian sebuah bangsa.

Ibu utamanya adalah sosok yang pertama kali bertanggung jawab mengajarkan semua nilai-nilai karakter tersebut, sebelum anak menuju jenjang pendidikan formal. Oleh karenanya, kunci keberhasilan pendidikan pada jenjang berikutnya ditentukan dari rumah.

Maka dari itulah ibu menjadi sosok yang luar biasa, pendidik karakter, pembimbing, pengayom, pelindung, penyebar kasih sayang, cinta, kedamian, kebijaksanaan, yang berlandaskan kejujuran. Berdasarkan semua fakta itu, sosok ibu harus dihormati setinggi-tingginya dan dimuliakan karena beliau sumber kebahagiaan sejati. Semoga para ibu dapat selalu menjadikan dirinya sorga bagi generasi yang dilahirkannya.

Penulis, Dosen Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *